Untuk perjalanan ke Macau kemarin saya menggunakan jasa maskapai Mandala airlines. Mandala memang baru membuka beberapa rute penerbangan direct dari Jakarta ke Singapore, Hongkong dan Macau. Harga yang ditawarkan juga low fares, bahkan lebih murah dibanding Air Asia karena Air Asia belum membuka rute direct Jakarta – Macau.
Ayo dicoba Mandala-nya :)
Ehm, karena low fares pula maka kebanyakan penerbangan ini dilakukan malam hari. Beggars can't be choosers right? Dari jadwal keberangkatan awal jam 4 sore akhirnya delay menjadi jam 6 malam. Itu pun harus ‘mengantri’ take off selama satu jam di dalam pesawat karena salah satu landasan udara Soekarno Hatta tidak dapat digunakan. Perjalanan Jakarta - Macau memakan waktu 6 jam dan pesawat baru landing di bandar udara Macau lewat tengah malam.
Semangat tingkat tinggi di Soekarno Hatta
Dan masih bisa tersenyum lebaaarrr.
Normalnya sih setelah sampai Macau dan urusan imigrasi selesai maka tujuan pertama adalah hotel. Berhubung kondisi keuangan ngepas banget dan rasanya sayang baru check in jam 1 pagi ke hotel yang di booked untuk sehari penuh jadi kami sepakat untuk tidur di bandara. Rencananya pagi kami mulai menjelajah Macau dan siangnya baru check in di hotel, lumayan bisa ngirit biaya penginapan satu malam.
Kondisi setelah menghabiskan waktu 7 jam di pesawat.
Bandara Macau tergolong kecil karena kebanyakan pesawat ‘mampir’ ke tempat ini untuk transit. Tempat duduk yang tersedia memang terbatas tapi tidak memakai sandaran tangan jadi bisa dipakai untuk rebahan. Badan mulai protes minta jatah istirahat, apalagi di pesawat tadi saya tidak bisa tidur. Saat yang lain masih sibuk foto-foto di depan tulisan ‘Welcome to Macau’ (oh, please!), saya mulai rebahan dengan ransel sebagai alas kepala.
Sepiii... Untung masih terang, jadi ngga horor.
Bukan hanya kami yang memilih tidur di airport.
Enaknya jadi mereka berdua, begitu nempel dengan kursi langsung tidur nyenyak. Kebal dengan kondisi sekitar.
Yang paling dibutuhkan saat tidur di airport bukanlah bantal empuk atau selimut tebal, tapi mental berlapis untuk menahan malu yang sudah mentok sampai ke ubun-ubun. Apalagi saat beberapa penerbangan lain landing dan menurunkan penumpangnya, duh pemandangan pertama mereka pasti sekumpulan backpacker kere (asal Indonesia) yang menggelandang di airport deh. Untuuuuung saja saya ngga sendirian, saya ngga akan bisa senekat itu kalau tidak ada teman-teman yang mau diajak menderita dan seru-seruan bareng.
Di luar masalah mental berlapis-lapis tadi, sebenarnya tidak banyak hal mengganggu untuk urusan tidur di airport. Walau kursi yang tersedia sempit, tipis dan jauh dari empuk, ransel yang dijadikan bantal terasa keras di kepala, dan security hilir mudik di depan kami, it’s no problemo monsieur. Masalah utama terletak pada ‘badan tropis’ kami. Suhu AC di-set terlalu dingin dan tidak bisa ditolerir ‘badan tropis’ yang senantiasa tinggal di daerah hangat cenderung panas. Jangankan untuk tidur, mencari cara untuk tetap hangat saja sulit setengah mati, bahkan untuk bernapas pun rasanya sulit karena suhu terlalu dingin.
Kedinginan plus mati gaya.
Beler.
Menanti pagi, hanya itu yang bisa dilakukan untuk menghabiskan waktu di airport. Jam 5 subuh belum ada tanda matahari dan suhu di luar semakin anjlok. Jam 6 pagi langit masih gelap dan belum ada tanda-tanda suhu akan menghangat. Jam sudah merayap ke angka 7 saat akhirnya sinar matahari mulai terlihat. Semangat kami mulai terpompa lagi, tinggal menunggu free shuttle bus The Venetian dan kami bisa keluar dari tempat ini.
Semangat langsung menguap seketika saat kami membaca pengunguman ‘Free shuttle bus The Venetian starts from 11 am – 9 pm’. WHAT??? Kami sudah sangat muak dengan tempat ini. Mau naik bus tapi tidak seorang pun yang memiliki uang receh, foreign exchange yang dijadikan harapan utama tidak bisa memberi solusi yang menyenangkan, naik taksi untuk sampai hotel terlalu mahal dan sia-sia karena kami baru bisa check in jam 12 siang.
Ergh, sepertinya airport ini belum mau berpisah dengan kami.