Travelinglah Selagi Masih Muda. Sebelum Menyesal

Perang Cuti

Pekerjaan menumpuk atau saling lempar pekerjaan memang senjata paling jitu untuk memicu konflik di dalam kantor, tapi nanti juga baik kembali setelah pekerjaan selesai. Berbeda dengan cuti. Kalau sudah menyangkut masalah ini, ego bisa sama-sama naik dan tidak ada satu pun yang mau mengalah. Ibaratnya semua akan berjuang sampai permohonan cutinya bisa dipenuhi.

Cuti memang hak karyawan, tetapi untuk mendapatkan hak tersebut dibutuhkan usaha yang tidak sedikit. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan saat mengajukan cuti, misalnya tidak cuti di tanggal sibuk, tidak cuti saat pekerjaan menumpuk, dan kesiapan orang lain untuk mem-back up pekerjaan yang akan ditinggalkan. Terlihat mudah di teori, namun sangat sulit untuk diwujudkan.

Saat saya memulai karir sebagai teller, sangat mustahil untuk mengajukan cuti. Kantor saya merupakan cabang besar dan memiliki banyak nasabah. Saat satu orang sakit, bisa dipastikan antrian akan mengular dan komplain nasabah akan bermunculan. Selain itu terdapat semacam tradisi bahwa anak baru tidak boleh cuti. Kenapa? Karena seniornya sendiri pun sulit cuti. Tidak jarang saya dipandang sinis saat mengajukan cuti ke atasan, komentar paling awal adalah, "Emang lo udah punya cuti?". Yey, anak baru juga punya hak cuti ya setelah 3 bulan bekerja. Komentar yang kedua adalah "Pokoknya gw ngga mau approve cuti di tanggal kejepit, hari senin, atau hari jumat". Okey, saya tau maksud kalian adalah "Lo ngga boleh cuti". Siapa sih yang tidak kehilangan mood untuk cuti jika sikap para atasan seperti itu?  Alhasil, total cuti yang saya gunakan selama di teller: 1 hari.

Kemudian saya pindah ke back office. Memang tidak berhadapan langsung dengan nasabah, tetapi load pekerjaan tidak berkurang, malah saya juga harus ikut menghandle pekerjaan costumer service. Lebih sulit cuti lagi karena hanya dua orang tim back office yang dapat menghandle pekerjaan teller dan CS sekaligus. Untungnya atasan baru saya lebih fleksibel dalam urusan cuti, beliau mengijinkan anak buahnya cuti selama back up mereka mengijinkan orang tersebut untuk cuti. Lagi-lagi saya tidak bisa cuti karena back up saya cuti menikah, cuti bulan madu, cuti liburan hari raya, untuk kemudian dia pindah ke kantor pusat mendahului saya. Yeah, lucky me.

Sekarang saya pindah ke kantor pusat. Peluang cuti lebih besar dan saya mulai membuat rencana liburan. Setelah browsing sana-sini, akhirnya saya mendapat tiket murah ke Bali di bulan Oktober. Dengan semangat menggebu saya menceritakan rencana liburan kepada seorang teman kantor, reaksi yang dia berikan sungguh di luar dugaan.

"Loh, Oktober kan aku mau cuti married, terus si P juga lagi cuti melahirkan. Pasti kamu ngga bisa cuti di bulan Oktober".

Ya, satu hal yang terlewat dari perhitungan saya: orang lain sudah duluan "membooking" tanggal untuk cuti.

Baiklah, saya mengalah. Saya mencari lagi tiket murah untuk bulan lain, sambil mengingat baik-baik pesan orang kantor, "Si B udah punya tiket ke Bali bulan September setelah lebaran". Yang artinya adalah: saya tidak bisa cuti di bulan September. Esoknya saya ke kantor membawa print tiket pesawat dan mengumumkan ke semua orang dalam ruangan,

"Gue udah punya tiket untuk bulan Desember. Ngga ada yang boleh cuti di Desember. December is mine!!!"

Liburan saya untuk tahun ini: aman.

Kemudian muncul masalah baru. Rebutan cuti hari raya. Beberapa orang dengan seenaknya sudah berbicara kepada atasan untuk meminta cuti di tanggal "kritis" tersebut. Beberapa lainnya sudah membooking tiket penerbangan untuk hari raya. Mau tidak mau saya jadi panas. Dua tahun penuh saya tidak bisa cuti di hari raya, yang paling parah saat harus merayakan Lebaran hanya berdua dengan adik karena orangtua mudik. Saat suasana mulai panas karena semua orang memperebutkan tanggal cuti di hari raya, saya iseng nyeletuk,

"Gue juga mau doooong cuti pas Lebaran. Udah dua tahun nih ngga pernah bisa cuti pas Lebaran".

Dan tanggapan mereka adalah

"Halah, kampung di Bogor aja minta cuti. Bogor mah deket, berapa jam juga nyampe. Kalau ke Lampung atau ke Bali kan jauh, jadi perlu cuti".

Wooooiii..... orangtua papa saya, alias kakek nenek saya itu ada di Bengkulu yaaa... It means: Saya juga butuh cuti untuk mudik. Udah 2 taun saya ngga lebaran bareng keluarga besar!!!!

"Lo masih single ini Cha".

"Lo belum punya suami ini Cha".

"Lo belum berkeluarga ini Cha".

Jadiiii, karena saya masih single, belum nikah, dan belum berkeluarga, saya HARUS SELALU mengalah untuk kalian? Saya bosan jadi pihak yang selalu mengalah, kenapa kalian tidak pernah mendengarkan perasaan saya sih? Saya juga punya keluarga ya, saya ingin menghabiskan waktu lebih banyak bersama mereka. Apa bedanya dengan kalian yang sudah menikah dan memiliki keluarga sendiri?

Pelajaran yang saya ambil adalah: rencanakan semua cuti yang dimiliki 1 atau 2 bulan menjelang tahun baru. Jika ada rencana liburan, segera cari tiket dan booking segera. Di awal tahun, diskusikan semua rencana tersebut dengan atasan, perlihatkan tiket yang dimiliki jika perlu, dengan demikian tidak ada lagi cerita kecolongan start cuti.

Di lain waktu saya mengobrol dengan teman yang akan cuti dan berangkat ke KL beberapa hari ke depan.

"Iiiihh, enak ya bisa cuti melulu. Gue dong, 8 hari cuti taun kemaren hangus karena ngga dipake", keluh saya.

"Salah sendiri punya cuti ngga dipake. Cuti gue aja selalu abis tiap tahunnya", jawabnya acuh.

Hegh. Pengen marah. Pengen teriak. Pengen nonjok. Dan pengen banget ngomong ini kenceng-kenceng.

"YA KARENA GW PEDULI SAMA PERUSAHAAN INI, DODOLL!!! MAKANYA GW BELA-BELAIN MASUK TERUS DAN JADI ANAK RAJIN!!!"

Sayang, saya cuma bisa ngomel dalam hati.


Sometimes, I just hate them. 
(highlighted the 'sometimes' word).

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Perang Cuti