Travelinglah Selagi Masih Muda. Sebelum Menyesal

Raditya Dika?

Siapa yang tidak kenal Raditya Dika. Saya yakin semua warga Indonesia pasti kenal makhluk absurb satu ini, paling tidak pernah mendengar namanya. Tapi siapa yang tidak tahu hebatnya tulisan-tulisan Radith? Well, saya salah satunya. Siapa yang tidak tertarik membaca bukunya sampai selesai kecuali tidak ada bacaan lain? Hm, itu saya. Siapa yang tidak mengakui kalau Radith adalah penulis kocak yang mampu membuat pembacanya tertawa dan setia menanti buku-buku dia yang selanjutnya? Ya, itu saya lagi.

Mari kita bicara tentang Kambingjantan, buku pertama Radith. Sejak pertama kali launching, buku ini memenuhi rak di toko buku ternama, termasuk di bagian Bestseller. Ok, saya mulai membaca profile Radita Dika dan pikiran yang pertama tercetus di kepala saya adalah; "Hm, blogger ya. Baiklah... Beruntung banget dia, bisa nerbitin buku yang diangkat dari blog. Mungkin karena sekarang belum banyak yang pake blog, terus Radith itu orang yang aktif nulis di blog, tulisannya dinilai lucu, konsep blog diangkat jadi buku juga belum pernah kejadian di Indonesia, akhirnya blog dia dipilih buat diterbitin dalam bentuk buku deh. Ah, kalau sekarang sudah banyak blogger juga belum tentu Radith bisa membukukan kisah hidupnya. He's just a lucky guy". Kemudian saya mulai membaca Kambingjantan secara random.

Cerita pertama yang saya baca adalah saat Radith memasukkan usus ayam yang kelindes mobil atau apa gitu, kembali ke tubuh si ayam. Hoo... teriakan CIAAAPPP si ayam cukup membuat saya ngenes. Lalu saya loncat ke halaman lain dan membaca cerita saat Radith memburu tikus dengan pembantunya. Cerita si tikus berakhir setelah disemprot pakai parfum karena dia bau, lalu dibakar. Duduuuhh... ini orang punya masalah sama binatang kali ya.

Kambingjantan memang laris manis dan banyak diomongin orang-orang, termasuk temen kuliah saya. Saat itu seorang teman dengan semangat menggebu bilang gini, "Cha, lo udah baca Kambingjantan belom? Ih, itu lucu banget ya. Ternyata temen gw itu temennya Radith. Itutuh, nama penulisnya. Kemaren gw dikenalin sama dia, dan si Radith itu beneran lucu banget. Gila deh anaknya. Keren juga sih Cha, dia bolak-balik Aussie-Indonesia gitu, kan dia kuliah disana. Terus...bla.. bla... bla...". Yea, temen itu nyerocos terus tanpa memberi saya kesempatan untuk bicara. Saya cuma manggut-manggut-marmut, pura-pura tertarik dan antusias dengan semua yang dia omongin. Dalem hati saya cuma bisa nanggepin, "Whatever, kaya gw tertarik sama Kambingjantan ato si Radith penulisnya itu".

Saya kira Radith akan seperti penulis kacangan lain yang hanya mampu menerbitkan satu karya kemudian mati tenggelam. Tapi keberuntungan dia sepertinya tidak berhenti sampai Kambingjantan saja. Buku karya Raditya Dika selanjutnya terbit bertubi-tubi (Cinta Brontosaurus, Radikus Makankakus, Babi Ngesot) secara konsisten hampir setiap tahunnya. "Pasti penulis ini memiliki basis fans yang cukup besar sehingga mampu menerbitkan buku lagi dan tetap laris di pasaran". Paling tidak itulah penjelasan logis yang sayangnya cukup jahat yang diberikan otak saya.

Setahun yang lalu, saya bergabung dengan blogspot. Sebagai newbie blogger, kewajiban utama saya tentu saja blogwalking. Hampir semua blog yang saya kunjungi memasang link ke blog Raditya Dika. Yah, saya juga seperti merasa berkewajiban mampir ke tempat yang sudah meracuni pikiran banyak orang untuk ikut ngeblog ini, Radith semacam mbah di dunia perbloggingan menurut saya. Sebenarnya ada satu alasan lagi dan ini adalah alasan terkuat: saya penasaran, siapa sih Raditya Dika itu?

Sebenarnya cukup gampang menjawab pertanyaan ini. Saya tinggal browsing dan berderet-deret informasi dan artikel tentang Raditya Dika akan bermunculan. Bukan itu yang saya butuhkan. Saya perlu tahu, kenapa dia sedemikian menginspirasinya, kenapa bukunya selalu masuk dalam bestseller, kenapa dia jadi panutan beberapa penulis yang baru memulai karirnya, dan yang paling terpenting, sehebat apa tulisannya. Ya saya tahu, mustinya saya mulai membaca semua buku Radith jika mau semua pertanyaan itu terjawab. Tapi kesan pertama saya terhadap Kambingjantan membuat saya enggan untuk membaca karya Radith yang lain. Mungkin tulisannya di blog dapat memberi saya persepsi lain tentang seorang Raditya Dika.

Postingan Radith yang pertama saya baca di radityadika.com menceritakan beberapa hal yang telah dan belum sempat tercapai di tahun 2009. Hoo.. lagi-lagi pikiran jahat saya muncul 'Gila, ni anak beruntung banget. Let me see: film Kambingjantan, pacaran sama Sherina, punya segmen tetap di TV'. Yap, I still don't get the point who is Raditya Dika. Di mata saya dia hanyalah seseorang yang super-duper-beruntung. Setelah kunjungan tersebut saya sibuk mengelola Merry go Round dan pertanyaan besar di kepala tentang Raditya Dika sedikit terkesampingkan.

Kegiatan blogwalking tak jarang membuat saya mampir kembali ke blog Raditya Dika. Dari beberapa kunjungan tersebut, Radith hanya menulis kesibukannya dalam menerbitkan buku terbarunya, dan tetap saja, pertanyaan utama saya tidak terjawab. Seorang teman saya begitu tergila-gila dengan Radith, dia rela ikutan sebuah workshop karena Radith adalah pembicaranya. Dia membawa semua buku Radith, lengkap, disampul plastik, dan meminta Radith menandatanganinya. Mengobrol sedikit dengan Radith, dan tambah menggila-gilainya.

"Lo ngapain ikutan workshop begituan? Sejak kapan lo tertarik sama blog" tanya saya penasaran.

Dengan ketawa ngikik-ngikik-kegirangan-karena-baru-ketemu-Raditya-Dika, dia jawab nyaring "Soalnya Radith jadi pembicaranyaaaa....."

"Teruuuss... emang setelah ikutan workshop itu lo mau ikutan jadi blogger gitu? Ngikutin jejaknya Radith?" saya skeptis ngelontarin pertanyaan ini ke dia.

"Ya engga siiihh... Tapi ya gw seneng aja gitu Cha. Gw. Ketemu. Raditya Dika."

Still, I don't get the point.

Kemudian buku terbaru Raditya Dika, Marmut Merah Jambu (MMJ) terbit. Topik ini memang cukup menghangat, betapa semua penggemar Radith telah menantikan buku ini 2 tahun lamanya. Teman saya yang sangat-tergila-gila-Raditya-Dika ini memesan khusus di toko buku agar dia tidak kehabisan MMJ dan bisa mendapat cetakan pertama. Oke, disini saya tidak mengerti pentingnya mendapat cetakan pertama dari sebuah buku. Selesai membaca MMJ, dia mengupdate status Facebooknya:

This book is killing me... Berasa ditabokin baca buku ini.. 

Hoo... Sedikit menyeramkan, buku bisa membunuh dan nabokin orang. What is the maksud? Dan penjelasan dia adalah "Bukunya baguuuuuuuuuuuuuuuuuuusss bgt Chaa, banyak ngena nya di gw. Huhuhu, makanya berasa ditampar berkali-kali gw baca tuh buku. Hehehe". Eerr, sepertinya saya bisa ngerasa bagaimana bagusnya buku itu dengan banyaknya huruf U yang digunakan.

Saya masih tidak tergerak untuk membaca buku Raditya Dika sampai kunjungan saya beberapa minggu kemarin ke sebuah toko buku. Disana MMJ memenuhi hampir seperempat bagian toko; bagian buku laris, buku pendatang baru, di belakang kasir, intinya di semua titik nadi dari sebuah toko buku. Seketika euforia di dalam toko buku tersebut menjadi euforia MMJ. Semua pengunjung yang datang langsung disodori pemandangan Radith bergaya marmut, lalu mengobrol santai tentang buku-buku Radith sambil memegang MMJ, buka-buka beberapa halaman MMJ, dan akhirnya membawa buku tersebut ke kasir. Saya? Masih tidak tertarik dan sibuk mencari buku yang cocok untuk menemani di hari minggu ini. Selesai mencari, saat kaki akan melangkah keluar dari toko, saya tergelitik untuk membaca MMJ sedikit. Sekedar penasaran dengan cerita Radith-Sherina yang dia tulis disitu.

Buku langsung saya buka di bagian daftar isi, mencari-cari judul yang tepat, dan pergi ke halaman yang dituju. Rileks, tarik napas, and here we go... Baiklah, saya suka dengan cara menulisnya, ringan, personal, menggunakan perumpamaan yang berbeda dengan pasaran. Hm, lumayan. Balik ke halaman berikutnya, disini Radith mengambil contoh pertemuan seseorang di sebuah adegan sinetron dan saya mulai menahan tawa dan menggigit-gigit bibir agar tawa ini tidak meledak. Satu cerita selesai. Respon saya? Hmm, mungkin kata menarik dapat mewakili. Saya suka cara Radith menyampaikan ide 'semesta berkonspirasi saat mempertemukan kita dengan seseorang'. Saya bahkan belum pernah memikirkan konsep ini secara mendalam sebelumnya. Cerita yang cukup manis, tapi tidak berlebihan.

Satu cerita mungkin sudah cukup. Tapi cerita selanjutnya berjudul 'Buku Harian Alfa' membuat saya ingin membaca MMJ lebih jauh. Untuk cerita ini, walau bibir sudah digigit sekencang mungkin, walau napas sudah ditahan sedalam mungkin, saya tetap tidak bisa menahan tawa yang meluncur manis dari bibir ini. Saya menyerah, berjalan menuju kasir, dan membawa MMJ untuk diajak pulang.

Seorang teman blogger mengatakan, inti terpenting saat kita menulis adalah 'untuk apa?' Untuk apa sih kita nulis, apa yang akan kita sampaikan ke pembaca, paling tidak selesai membaca sebuah tulisan ,seseorang bisa mendapatkan sesuatu dari sana. Harus ada pesan yang jelas saat kita menulis, ini akan menjadikan tulisan kita lebih bermakna dan berbobot. Untuk apa nulis panjang-lebar-kali-tinggi kalau intinya cuma 'Hari ini gw ditraktir temen makan bakso dan gw seneng banget'. Itu sih ngga perlu niat nulis di blog, update aja di Facebook atau Twitter. 

Sedikit banyak hal inilah yang saya harapkan dari MMJ, dari seorang Raditya Dika. Apakah dia mampu memberikan tujuan 'untuk apa' dalam bukunya atau isi MMJ hanya tulisan tidak bermutu yang cuma ditujukan untuk membuat orang tertawa. Rasa skeptis itu masih menempel di kepala saya.

Cerita pertama: Orang Yang Jatuh Cinta Diam-diam. Kisah cinta Dika di SMP dimana dia hanya bisa mengagumi orang yang dicintai tanpa berani mendekati dan menyampaikan perasaannya. Konsep yang sederhana, tapi Radith meraciknya dengan cara yang benar-benar berbeda sehingga menghasilkan cara penyampaian yang berbeda pula. Kepolosan anak SMP, gap sosial antara geng populer dan geng cupu, naksir-naksiran, semua yang mengalami masa SMP pasti tau bagaimana rasanya. Itu dia, semua orang pernah merasakan apa yang Radith tuliskan sehingga setiap cerita terasa dekat dengan kehidupan sehari-hari.

Bagi saya, kekuatan utama dari buku ini karena pengalaman personal pembuatnya. Tidak ada yang lebih mengerti bagaimana rasanya cinta terpendam, ditolak, sampai jadian selain diri sendiri. Novel lain yang bercerita tentang seorang cewek nyomblangin sahabatnya dengan seorang cowok, kemudian mereka nikah, padahal cowok ini adalah selingkuhan cewek ini, dan dia nyatuin selingkuhan dan sahabatnya dalam ikatan pernikahan supaya suaminya ngga curiga (sebuah cerita rumit untuk dipilih) terlihat tidak terlalu masuk akal dan pasti tidak semua orang pernah mengalaminya (ada gitu yang ngalamin kejadian kaya gini di dunia nyata). Penulisnya juga mungkin hanya merangkai sebuah cerita tanpa pernah merasakan perasaan yang sesungguhnya tertuang di dalam buku (atau mungkin itu memang pengalaman pribadi dia?). Yah, itu lah intinya. Ngerti kan? Saya juga lumayan bingung sih (kenapa saya jadi dodol gini ya).

Sama persis dengan teman-saya-yang-ngefans-abis-sama-Raditya-Dika bilang, saya juga ngerasa ditamparin pas baca buku ini. Plus ngos-ngosan juga sih. Cerita Radith mungkin biasa, endingnya juga paling ketebak, tapi cara dia menulis, menyampaikan perasaannya, mengungkapkan apa yang dia rasakan, bikin saya lupa bagaimana caranya bernapas. Saya ngga pernah bisa menduga apalagi yang akan Radith rasakan, cerita seperti apa yang akan terjalin setelah hubungan ini, dan konsep apalagi yang akan Radith gunakan untuk tulisan selanjutnya. 

Satu hal yang tidak saya harapkan dari MMJ. Radith menuliskan beberapa permainan psikologis antara laki-laki dan perempuan, menggambarkan dengan sederhana bahwa laki-laki dan perempuan memang berbeda, dan bagaimana cara menghadapinya. MMJ juga membuat saya mengerti, bagaimana laki-laki memandang dan menyikapi cinta, melihat arti cinta dari sudut pandang laki-laki. Tulisan seperti ini membuat seri lengkap buku Mars vs Venus yang ngejelimet terasa tidak ada artinya. Bravo Radith!

Kebanyakan inti cerita, ide, konsep, atau apa yang teman blogger saya sebut 'untuk apa' terletak di akhir cerita. Dengan kata lain, punching line diletakkan di akhir dan membuat cerita berasa lebih 'nendang'. Loh, kalau gitu mustinya saya ngerasa ditendangin dong setelah baca MMJ, bukan ditamparin. Tapi arti punching itu sendiri kan meninju. Yah, sepertinya kata ditamparin lebih bisa diterima daripada ditendang atau ditinju. Harap diinget ya, ini konteksnya saat membaca sebuah cerita atau buku, bukan di kehidupan nyata. Saya jelas-jelas menolak semua bentuk kekerasan yang terjadi di dunia nyata (halah).

Lalu pertanyaan itu akan kembali ke saya, untuk apa saya nulis segini panjang tentang Raditya Dika. Akan saya jawab. Tulisan ini saya buat untuk mengapreasiasi seorang Raditya Dika. Lewat MMJ, pertanyaan saya selama ini tentang 'siapa sih Raditya Dika' akhirnya terjawab. Saya dapat mengerti mengapa seorang Raditya Dika begitu menginspirasi, saya bisa lihat hebatnya tulisan dia sehingga tak heran buku Radith betah nongkrong di rak bestseller. Kemudian saya membaca ulang blog Radith dan menemukan petuah bijak tentang menulis, salah satu yang selalu saya pegang dari pesan di tulisan itu adalah KISS, Keep It Simple Stupid. 

Saya juga merasa harus meminta maaf atas semua pikiran negatif saya terhadap Raditya Dika sejak Kambingjantan terbit melalui tulisan ini. Memang, Radith tidak akan membaca tulisan ini, dia juga tidak pernah tahu kan kalau saya pernah memiliki pikiran segitu jeleknya tentang dia, tapi saya merasa perlu untuk membuat satu tulisan khusus Raditya Dika. Mungkin ada orang lain di luar sana yang masih memiliki pemikiran seperti saya dulu, atau skeptis dengan buku ringan seperti MMJ, atau merasa tidak level baca buku sejenis MMJ. Saya tidak mau berkomentar banyak. Hanya coba saja dulu baca, mungkin pikiran kalian akan berubah :)


Foto jijaybajay saya sama MMJ:
- Mata beler karena mulai baca tengah malem dan ngga bisa berenti sampe jam 3 pagi.
- Baju tidur gambar beruang dan lope-lope (sori, saya masuk angin kalo pake lingerie doang).
- Kacamata minus yang tebel banget karena mata udah kering ditempelin softlense seharian.
- Kamar berantakan, lengkap dengan sebuah boneka tak berdosa yang ngga sengaja saya dudukin.

Trust me, butuh keberanian besar untuk memasang foto ini disini.

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+

Related : Raditya Dika?