Rabu (19/8) siang kemarin, kantor saya digemparkan oleh berita di detiknews.com yang mengabarkan CIMB Niaga cabang Medan dirampok. Berita tersebut beredar dengan cepat ke seluruh karyawan CIMB Niaga via internal email maupun BlackBerry Messenger. Saat itu berita masih simpang siur, namun dikabarkan peristiwa perampokan memakan korban satu orang tewas dan uang sejumlah 200juta lebih lenyap dibawa para pelaku. Walau kejadian tersebut jauh dari Jakarta, tapi seisi kantor cemas memikirkan keadaan rekan-rekan CIMB Niaga Medan yang mengalami kejadian tersebut.
Sore hari, mama mengirim sms,
'Teh, perampokan sadis di bank CIMB Niaga Medan. Satu polisi tewas tertembak. Mama jadi khawatir sama kamu, tapi untung sekarang kamu ngga di depan lagi ya'.
Besok paginya, beberapa teman menelpon saya sehubungan dengan kejadian tersebut. Mereka cemas sekaligus bersyukur karena saya sudah pindah ke bagian back office.
'Ochaa... untung aja lo udah pindah ke belakang. Coba kalo masih di depan trus bank lo kerampokan, gw ngebayanginnya aja udah serem Cha'.
Yang paling mengejutkan, adik saya ikut mengirim sms sehubungan kejadian tersebut,
'Teh, CIMB Niaga di Medan kan dirampok 1.5 miliar ya. Trus lo ntar msh dpt THR gak???'.
Hm, dia sih jelas bukan cemas dengan keselamatan saya di tempat kerja, tapi lebih karena takut tidak kebagian jatah lebaran karena si kakak tidak dapat uang THR.
Well, back to the topic. Saya tidak ingin terlalu banyak menebar humor di tulisan ini, karena saya, kami, seluruh keluarga besar CIMB Niaga prihatin dengan kejadian ini. Kami berduka karena satu jiwa melayang dari peristiwa kemarin, dua orang satpam harus dirawat karena luka tembak yang cukup parah, belum lagi traumatis yang dialami semua rekan CIMB Niaga Medan.
Kejadian kemarin mengingatkan saya akan resiko pekerjaan seorang teller. Tidak ada yang mengira, teller yang seharian hanya bekerja di balik meja ternyata menyimpan resiko pekerjaan teramat besar. Dari kejadian kemarin, setelah brimop dan satpam berhasil dilumpuhkan perampok, maka lini depan yang mengawal keseluruhan uang di dalam bank adalah para teller. Dalam kondisi tersebut, apa yang harus teller lakukan? Mereka tidak pernah diajarkan atau dilatih untuk menghadapi kondisi seperti ini. Di bawah todongan senjata mereka dipaksa menyerahkan semua uang yang ada. Batas antara hidup dan mati terlihat tipis dalam kondisi seperti itu, belum lagi jika para perampok tergolong nekat.
Siapa yang ngga stress ditodong senjata kayak gitu
Seorang teller, dari jam 8 pagi sudah menjalankan tugasnya untuk melayani transaksi harian nasabah sampai jam 4 sore. Menghitung dan menjalankan perputaran uang ratusan juta rupiah setiap harinya. Teller juga tidak hanya melayani transaksi tunai nasabah, tapi juga transaksi non tunai seperti transfer antar bank, pengiriman valuta asing, ataupun pembayaran pajak. Ditambah dengan antrian panjang nasabah dan service quality yang dijunjung tinggi, maka teller harus tampil sesempurna mungkin karena mereka adalah ujung tombak yang mencerminkan citra dari bank yang bersangkutan.
Resiko lain yang sering dihadapi teller adalah selisih uang. Bisa terjadi karena nasabah kurang menyetorkan uang tunai, atau karena teller kebanyakan membayar uang untuk nasabah. Sepertinya hanya teller ceroboh yang akan mengalami kondisi seperti ini, tapi kebanyakan teller pasti pernah mengalaminya. Jumlah selisih bervariasi, mulai dari nominal paling kecil sampai angka puluhan juta rupiah. Tentu saja, yang harus bertanggung jawab dan mengganti semua selisih itu adalah teller yang bersangkutan. Hampir ketinggalan, jika ada uang palsu yang lolos dari pengamatan teller dan ditolak oleh BI, maka teller juga yang harus mengganti uang palsu tersebut.
Perputaran uang yang besar, nasabah mengantri, pekerjaan menumpuk, rasanya wajar jika sesekali konsentrasi teller terpecah sehingga terkadang mereka lalai menghitung atau menyortir uang. Tanpa bermaksud membela kesalahan teller (dan beberapa kesalahan yang pernah saya lakukan saat menjadi teller) tapi rasanya sangat manusiawi jika mereka sesekali melakukan kesalahan.
Semua front line (baik teller ataupun costumer service) selalu berusaha memberikan kualitas pelayanan yang memuaskan bagi nasabah. Hal ini bukan semata-mata mereka tunduk pada SOP yang berlaku, tetapi lebih karena dedikasi terhadap pekerjaan dan perusahaan. Mereka sadar betul bahwa kualitas pelayanan yang diberikan akan menampilkan citra dari bank tempat mereka bekerja. Demi hal tersebut, tak jarang para front line mengorbankan waktu makan siang jika antrian nasabah terlihat mengular. Jangankan untuk istirahat makan siang, untuk ke toilet pun rasanya sulit karena antrian nasabah tidak kunjung habis.
Beberapa hal kecil lain yang saya alami saat menjadi teller:
1. Makan siang di atas jam 4 sore, di meja kerja sambil mengerjakan rekap harian.
2. Menahan rasa jijik saat harus menghitung bertumpuk-tumpuk uang kumal yang sudah tidak layak pakai secara manual.
3. Menghitung uang 2M menggunakan mesin untuk dibayarkan kepada nasabah. Dan saat itu saya sangat membenci sepatu ber-hak 7cm yang dipakai saat itu.
4. Menelan semua makian nasabah yang marah-marah, sambil tetap tersenyum dan berusaha memberi penjelasan. Walaupun yang salah adalah nasabah yang bersangkutan.
5. Selalu sport jantung saat menghitung saldo harian, 'Duh, selisih ngga ya gue'.
6. Kram jari saat harus menghitung manual uang ratusan juta untuk mencari selisih.
Semua pengalaman pribadi saya sebagai teller mengajarkan saya akan satu pelajaran penting bernama empati.
Seringkali kita tidak puas dengan kualitas pelayanan yang diterima; kasir swalayan lama, pelit senyum, pegawai restoran lama mengantar pesanan, dan yang paling saya benci adalah pelayanan saat membeli tiket bioskop. Tapi, sebelum marah dan menuding semua kesalahan, saya ingat kalau saya juga pernah bekerja melayani nasabah. Tidak adil kalau saya mengomel sedangkan saya juga pasti pernah melakukan kesalahan yang menyebabkan nasabah marah. Saya percaya, mereka pasti ingin memberi pelayanan yang terbaik, hanya mungkin ada beberapa kendala sehingga pelayanan mereka tidak maksimal.
Di bulan puasa ini, semua kedai fast food penuh menjelang waktu berbuka. Antrian panjang dan permintaan pelanggan juga banyak dan berbeda-beda. Semua pelayan tetap bersemangat melayani pelanggan dan menebar senyum, tetap sabar walau keluhan mulai muncul dari mana-mana. Kalau sudah begini saya akan diam dan berusaha bersimpati, melihat kondisi mereka dari sudut yang berbeda: walau waktu berbuka sudah dekat, tapi mereka tetap melayani pelanggan sepenuh hati, menerima semua komplain dan tetap bekerja sebaik mungkin. Saat waktu berbuka sudah tiba, tidak satu pun dari mereka beranjak dari tempatnya, tetap melayani pelanggan yang masih mengantri. Saya juga pernah ada dalam situasi seperti itu, dan itu tidak mudah.
Alhamdulillah, lewat pengalaman pribadi saya bisa lebih menghargai pekerjaan orang lain. Melihat semua hal dari sudut pandang yang berbeda. Daripada saya buang-buang energi untuk marah-marah, lebih baik energi tersebut saya kelola untuk melihat hal lain dari perspektif lain. Bonusnya saya jadi lebih sabar, syukur-syukur kalau bisa tambah dewasa juga. Bahasa kerennya sih belajar tentang kehidupan dari lingkungan sekitar. Dan sampai sekarang saya juga masih harus banyak belajar :)
Cheers.