Travelinglah Selagi Masih Muda. Sebelum Menyesal

Karena Saya Cinta Film (I)

Kalau diingat-ingat, banyak juga kejadian tidak penting (tapi mengesankan) yang terjadi karena kecintaan saya pada film. Siapa sangka, film telah mengantarkan saya untuk bertemu dengan orang-orang baru, mencoba pengalaman baru, dan memacu saya untuk terus mengeksplorasi film itu sendiri. Pada akhirnya, saya jatuh cinta dan terus jatuh cinta pada film.

Keinginan menghadiri festival film sudah ada sejak lama, tapi selalu terhambat karena alasan konyol: acaranya di Jakarta. Saya takut nyasar di Jakarta. Dua tahun lalu Bogor kebagian jatah roadshow pemutaran film Pertaruhan dan inilah event pertama yang saya datangi. Acara berlangsung pagi hari di salah satu mall kota Bogor dan peserta diharuskan datang sebelum jam 8 pagi. Belum pernah saya datang ke mall sepagi itu bahkan saya harus minta tolong security agar bisa masuk ke dalamnya. Berasa jadi karyawan mall.

Setelah bekerja di Jakarta saya memberanikan diri menghadiri salah satu festival film terbesar di Indonesia, paling tidak saya tidak akan nyasar lagi di Ibukota negara ini. Jiffest tidak hanya membuka mata saya akan berbagai genre film di dunia ini, dia juga membuat saya mengenal Blitz. Sedikit memalukan untuk membeberkan fakta ini: saya belum pernah menonton di Blitz sebelumnya (ya, tertawalah sepuasnya). Karena tidak tahu-menahu sistem pembelian tiket di Blitz, alhasil banyak film favorit yang tidak bisa saya tonton. Tapi ini menjadi pengalaman berharga, saya bisa mengantisipasi masalah tiket jika ada festival film lain yang diselenggarakan Blitz.

Akhir-akhir ini saya lumayan hoki mendapatkan beberapa tiket nonton bareng. Acara nobar lazimnya diadakan pagi hari, sebelum bioskop membuka studionya untuk umum. Dari sekian banyak mall yang saya datangi di pagi hari, hanya Grand Indonesia (GI) yang setia memberi cobaan untuk saya. Entah karena saya memang disoriented dalam mencari arah atau yang merancang mall ini terlalu jenius, yang pasti saya selalu nyasar ketika berada di dalamnya. FYI, mall di pagi hari sama menyeramkannya dengan kondisi mall lewat tengah malam: gelap, banyak toko yang tutup, eskalator dan lift mati.

Cobaan GI di pagi hari
Blitz GI terletak di lantai 8. Saya masuk lewat menara BCA, niatnya naik sampai lantai 3 dengan lift, kemudian melewati sky bridge, naik lagi pakai lift langsung sampai ke Blitz. Tapi, saya ko malah nyasar ke food court? Terus, nyasar lagi ke Dancing Fountain. Saya ada dimana? Sendirian, nyasar, ngga ada orang lain, toko masih tutup, gelap, saya mulai deg-degan panik. Akhirnya saya memang sampai ke Blitz sih, tapi itu setelah berputar-putar dan menaiki lima lantai dengan eskalator. Menaiki dalam arti kata yang sebenarnya, alias saya harus mengeluarkan tenaga ekstra mendaki lima lantai dengan eskalator yang mati. Ini sih namanya joging dalam mall.

Sialnya, AC di dalam Blitz masih mati. Saya keringetan sedangkan beberapa orang yang sudah datang untuk acara nobar terlihat adem ayem, alias tidak mengalami joging dalam mall seperti saya. Guess what? Ternyata mereka naik lift dari pintu masuk deket Starbucks yang menyala sempurna. Crap.

Kejadian di GI saat siang hari
Karena film masih dua jam lagi diputar jadi saya berputar-putar dulu di dalam mall ini. Satu jam sebelum acara dimulai, saya kembali ke arah Blitz, tapi jalan saya tidak semulus perkiraan. Saya nyasar (lagi). Berputar-putar (lagi) dan menjadi semakin nyasar. Tinggal setengah jam sebelum film diputar, saya harus cepat sampai karena Jiffest menerapkan free seating, jangan harap dapat tempat strategis untuk menonton kalau datang terlambat. Menyerah, saya bertanya ke security.

'Blitz kan di West Mall mba.'

'Heh? Emang sekarang saya ada dimana?'

'Di East Mall mba.'

What?! How do I get there in 30 minutes? Penjelasan arah dari security cuma sebagian yang saya tangkap. Yang jelas, saya jauuuhhh banget dari Blitz. Andaikan mall ini menyediakan fasilitas ojek, saya pasti bisa cepat sampai ke Blitz.

GI lumayan bersahabat di malam hari
Pulang dari Jiffest hampir tengah malam. Mall sudah sepi, toko banyak yang tutup, eskalator mati tapi sebagian besar lift masih menyala, yang pasti tidak segelap dan sepengap mall di pagi hari. Karena tidak dikejar waktu, jadi bisa menggunakan kesempatan emas ini untuk...... foto-foto :)



Cobaannya sih waktu cari taksi untuk pulang. Berebutan!

Sebagian besar acara nobar saya disponsori U Fm, jadi tidak heran kalau kru U Fm juga sering bertebaran saat acara berlangsung. Lucky me, di salah satu acara nobar tidak terlalu banyak kru yang hadir, saya bisa mengobrol banyak dengan Imam Wibowo. Saya sendiri sudah mendengarkan siaran Imam sejak dia masih di Prambors hingga sekarang Imam pindah ke U Fm. Cukup mengejutkan, karena Imam masih ingat dengan salah satu tulisan saya. Saya mengobrol banyak dengan Imam, terutama tentang topik radio play yang saat itu akan saya tulis juga di blog. Menyenangkan bisa berdiskusi tentang radio lewat obrolan santai dengan salah satu penyiar sekaliber Imam Wibowo :)

Karena U Fm tergabung dalam Femina group, beberapa acara nobar yang diadakan digabung dengan pembaca femina group dengan persentase 70-30 (70% pembaca femina group dan 30% pendengar U Fm). Saat saya menonton It's Complicated digabung dengan pembaca majalah Pesona, terakhir saat menonton Love Happens digabung dengan pembaca CitaCinta. Konyolnya, majalah ini menerapkan dress code untuk acara nobar mereka sedangkan U Fm tidak ambil pusing dengan masalah dress code. Alhasil, saya sering tampil 'salah warna' saat datang ke acara nobar. Mayoritas peserta memakai baju shocking pink yang mencolok mata, saya malah memakai baju serba gelap.

Apa lagi yang menyenangkan dari nobar selain tiket gratis dan bisa mengobrol dengan kru U Fm? Jawabannya kuis. Nobar seringkali menggelar kuis sebelum acara dimulai, pertanyaan bisa seputar film atau sponsor dari acara tersebut. Bagian ini yang sering membuat saya gemas karena saya belum pernah berhasil ditunjuk untuk menjawab. Nggak penting sih sebenarnya, tapi kalau sering ikut nobar rasanya gateeell banget kalau belum bisa menang bagian ini. Penantian panjang saya berakhir pas nobar kemarin, saya berhasil ditunjuk, jawabannya bener, dapet hadiah, dan nampang di majalah. Hahahaha....



Kalau blogger lain nampang di majalah karena blognya dimuat atau karena penulisnya berhasil menginspirasi banyak orang, saya malah nampang di kolom nobar. Tak apa. Saya ridho lillahitaala. *Maaf membuat kecewa beberapa orang yang penasaran dengan berita 'Foto gue nampang di CC'*.

Photo session (jelas terlihat kalau saya 'salah warna').

Nenes-lagi-Nenes-lagi. Emang dia paling setia deh kalo diajak nonton yang gratisan :p

Sebenernya ada 4 tiket, sayang tidak mendapatkan satu 'korban' lain untuk ikutan acarnya.

Dan ini adalah akibat terakhir dari kecintaan saya pada film.


Tunggu sambungan ceritanya ya :)

Special thanks:
- Kania Safitri yang selalu rajin menemani saya mendatangi acara nobar plus jadi fotografer dadakan :)
- Widya yang rela berkeliling Toga Mas Jogja demi mendapatkan buku yang sudah lama ingin saya miliki. I owe you one dear little sister.

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+

Related : Karena Saya Cinta Film (I)