'Ma, kan ada Santana di Java Jazz.'
'Masa? Wah pasti bagus.'
'Mama mau nonton? Nanti aku cariin tiketnya ya.' Mama pasti pengen banget nonton Santana, beliau punya selera bagus untuk urusan musik.
'Enggak deh teh, tiketnya pasti mahal', sayangnya mama selalu mengalah dan mendahulukan kesenangan anak-anaknya.
Kantor saya termasuk dalam daftar penerima compliment ticket dari Java Festival Production yang menyelanggarakan hajatan tahunan Java Jazz Festival dan Java Rockin' Land. Divisi saya biasanya kebagian menjalankan transaksi valas yang menjelimet dan menggunung. Mendapat transaksi dari promotor ini artinya adalah pulang malam dan kerja menguras otak, tapi Java Festival selalu berbaik hati memberikan compliment ticket bagi orang-orang yang telah membantu kelancaran setiap acara yang diadakan.
Compliment ticket Java Rockin' Land 2010 yang tidak sempat saya pakai :(
I'll do my best for Java Festival Production transactions. Keinginan saya untuk bisa mendapat compliment ticket menjadi begitu menggebu-gebu karena ingin mengajak mama menonton konser sekelas Java Jazz. Lebih bagus lagi kalau bisa mewujudkan mimpi beliau melihat aksi Santana secara live. Pulang malam dan kerjaan menumpuk menjadi agenda rutin selama sebulan menjelang perhelatan Java Jazz Festival. Satu-satunya hal yang membuat saya tetap bersemangat (dan menambah dosis kafein dalam jatah kopi harian) adalah bayangan akan menonton konser bersama mama tersayang.
Mama sendiri mungkin tidak terlalu bersemangat untuk menonton Java Jazz tapi saya ingin mama dapat merasakan sebuah pengalaman menonton konser; bernyanyi dengan ratusan orang lainnya, menggoyangkan badan mengikuti irama yang ada dan larut dalam euforia kegembiraan. Sesuatu yang mungkin belum pernah mama rasakan. Entahlah, beberapa waktu terakhir ini rasanya saya ingin melakukan banyak hal bersama orang tua tercinta, menghabiskan lebih banyak waktu bersama mereka dan mengajak mereka merasakan sesuatu yang belum pernah dirasakan selama hidupnya. Sesuatu yang pasti akan mereka sukai.
Sayangnya compliment ticket yang tersedia hanyalah daily ticket, untungnya bagian marketing berbaik hati dengan memberikan saya tiket hari Jumat sehingga masih memungkinkan untuk saya mencari Santana special ticket show dengan dana sendiri. Tiket yang sangat mahal apalagi saat mendekati hari H membuat niat saya untuk mengajak mama menonton Santana harus dikubur dalam-dalam. Saya kecewa, tapi saya lebih takut mama yang lebih kecewa. Oh God, saya hanya ingin mengajak mama bersenang-senang dan lepas dari rutinitas hariannya.
Sepertinya mama menangkap keinginan saya ini. Beliau mau ikut menonton Java Jazz walau saya sudah memberikan worst case scenario (hall yang penuh banget, berdiri sepanjang show, acara sampai tengah malam). 'Urusan cape itu sih belakangan', mama meyakinkan saya kalau dia mampu mengikuti jalannya acara. Saya juga mewanti-wanti mama untuk memberitahu saya sesegera mungkin jika beliau merasa capek atau hall terlalu penuh sehingga beliau merasa tidak nyaman. Java Jazz, here we come....
Performance artist yang saya incar adalah Glenn Fredly. Sayangnya karena kemacetan Jakarta kami harus melewatkan Glenn. Then what? Saya sendiri nggak tahu mau menonton apa saya mama. Krik krik krik..... Hal ini selalu terjadi karena kurangnya antisipasi untuk menonton konser. Di salah satu hall yang masih kosong The Groove akan tampil kurang dari satu jam lagi. Rasanya hall ini cukup 'aman' untuk didatangi bersama mama. Penonton belum berjubel dan masih bisa duduk santai di dalam hall.
The Groove ternyata memberi penampilan yang luar biasa. Outstanding! Rasanya bener-bener diajak reunian ke beberapa tahun silam dengan lagu-lagu The Groove. Untungnya juga mama kenal baik dengan semua lagu yang dibawakan The Groove malam itu. The Groove was grooving up the audience that night, including me and mom :)
Berikutnya adalah Tompi. Antrian memasuki hall lumayan mengular. Saya dan mama masuk dari sisi yang lebih kosong. Saat pintu dibuka semua pengunjung merangksek maju, mama dan saya ikut terdorong ke depan. Saat saya mengkhawatirkan keadaan mama, beliau malah mengajak saya berlari masuk ke dalam hall dan mencari posisi enak di tengah hall. Ah mama, ternyata beliau sudah tertulari euforia Java Jazz dan tidak mau kalah bersaing dengan pengunjung yang lebih muda.
Could you see Tompi in stage? ;)
Penampilan Tompi lebih mencengangkan! Saya salut dengan musikalitas dan kemampuannya menguasai panggung. Terlebih saat Tompi menyanyikan lagu I Know You So Well dengan nuansa jazz yang sangat berbeda. Musik jazz mungkin dirasa terlalu berat sehingga peminatnya tidak sebanyak musik bergenre pop, padahal jazz ringan yang easy listening juga menyenangkan untuk didengar. Seperti film Indonesia yang tidak jelas genrenya (horor lebih mengarah ke seks dewasa), kondisi musik Indonesia pun tidak berbeda nasibnya dengan dimonopoli irama melayu semacam ST12 dan teman-temannya. Lagi-lagi, selera masyarakatlah yang menentukan genre mana yang akan terus berkembang dan bertahan. Jika ingin musik Indonesia terus didominasi irama melayu, maka gila-gilailah musisi yang bergerak dalam jalur tersebut. Tetapi jika ingin musik Indonesia menjadi lebih berkualitas dan berkembang maka hargailah genre musik yang lain.
Di tengah konser Tompi mama terlihat diam dan kurang menikmati acara. Beliau ijin untuk ke belakang dan duduk di luar hall. Ya, inilah tanda saya harus mengakhiri malam menyenangkan di Java Jazz. Saya tidak akan memaksa mama, jika mama merasa cukup maka itu artinya cukup. Kami sudah cukup bersenang-senang malam ini. Dan saya bisa lihat dari senyum beliau, walau tidak bisa menonton Santana namum musisi dalam negeri mampu memberi penampilan sempurna yang memukau penontonnya.
'Lebih enak nonton yang dalam negeri ya teh, bisa ikut nyanyi dan ngerti lagu-lagunya', komentar mama ketika kami keluar dari stage Sondre Lerche.
'Jadi nggak nyesel dong nggak bisa nonton Santana ma?' goda saya.
'Nggak sama sekali', jawab mama mantap.
'Tahun depan Java Jazz lagi ya maaa....' :)
PS: Nggak ada foto saya dan mama sama sekali. Alasannya saya cape berat pulang kerja langsung ke Java Jazz sehingga mood foto jadi hilang begitu saja. Selain itu kamera saya (akhirnya) rusak berat. Hm, saatnya membeli DSLR *buka-buka katalog Canon*.