Travelinglah Selagi Masih Muda. Sebelum Menyesal

Anak Kost vs Komuter

Break sebentar cerita Skandinavianya yaaaa ;)

..........................

Setelah tiga tahun lebih saya bertahan menjadi komuter yang setia hilir mudik Bogor - Jakarta untuk bekerja akhirnya saya sampai pada satu titik yang membuat saya mau-tidak-mau harus menjadi anak kost. Jadwal deadline penulisan buku yang cukup ketat membuat saya harus menulis sesering yang saya bisa, untuk memenuhi kebutuhan tersebut saya menyewa sebuah kamar kost kecil di daerah kantor agar waktu yang biasanya terbuang untuk perjalanan pulang-pergi rumah-kantor bisa saya alokasikan untuk menulis. Mencari kamar kost yang sesuai dengan tipe ideal ternyata sulit, sangking sulitnya saya sampai menganalogikan mencari kost-kostan yang cocok itu sesulit mencari jodoh (deuu, curhat colongan). 

Harga, ukuran kamar, lingkungan, semua berpengaruh besar dalam menentukan putusan kamar mana yang sebaiknya saya pilih, belum lagi kantor saya terletak di jalan Gajah Mada yang terkenal sebagai red district Jakarta di kala malam. Hiiihh, males aja gitu kalau satu kost sama 'ayam'. Nah, masalah wanita malam ini juga menjadi salah satu nilai lebih beberapa kost-kostan minus 'ayam', "Anak-anak kost sini semuanya pekerja kantoran mba, nggak ada yang kerja malem-malem". Jelas, kost seperti ini menjadi incaran pekerja kantoran sejati seperti saya ;) Kisaran harga kost-kostan ukuran 2 x 3 m di daerah Gajah Mada berkisar di atas 500ribu rupiah, kalau kamarnya ber-AC harganya bisa melambung sampai 1juta rupiah. Heehh, totally out of my budget. Karena tujuan utama saya ngekost adalah untuk merampungkan draft buku maka saya harus mencari kamar senyaman mungkin: tidak sempit, sirkulasi udara bagus, tidak berisik, tidak jauh dari kantor, harga terjangkau, dan bebas dari pergaulan dunia malam. Tuuuhh, susah kan nyari kost-kostan sesuai kriteria idealnya saya. 

Setiap pulang kerja dan beberapa akhir pekan saya habiskan untuk hunting kost-kostan diseputaran kantor, ternyata kegiatan ini membuat saya lebih aware terhadap kondisi kehidupan Jakarta yang memang keras. Nyaris tidak ada lahan kosong di Jakarta, apalagi perkampungan penduduk. Semua telah disulap menjadi daerah komersil tempat masyarakat menyandarkan sumber keuangan mereka. Rata-rata rumah penduduk yang sudah kecil mungil dan imut-imut itu merangkap sebagai tempat kost, tempat makan, tempat laundry, atau apapun jasa yang ditawarkan untuk menghasilkan uang. Kebanyakan rumah yang menyediakan kamar kost bisa saya sebut agak sedikit maksa, sepertinya sepetak lahan kosong di halaman belakang langsung dibuat bangunan bertingkat tiga yang berfungsi sebagai kamar kost. Rumah toko setinggi empat sampai lima lantai pun halal dijadikan tempat kost, jadi setiap lantai dari rumah toko ini dibuat petak-petak kamar di kanan kiri ruangan dan menyisakan satu lorong panjang dan sempit di tengah-tengahnya. Huuff, yang terakhir ini kamar kostnya super panas, pengap, dan sempit. Saya langsung sesak napas saat melihat isi kamarnya, nggak kebayang saya harus menjadi manusia kreatif untuk membuat tulisan di kamar semungil dan sepengap ini.  

Ada harga ada mutu, hukum itu juga yang berlaku saat mencari kamar kost. Lupakanlah kamar kost super nyaman dan terjangkau saat saya kuliah dulu, sekarang saya harus berhadapan dengan mahalnya biaya hidup di Ibukota Jakarta. Kamar nyaman, luas, dan berpendingin udara harus saya bayar dengan harga 1juta lebih per bulannya, alhasil saya mencari kamar tanpa pendingin udara namun memiliki sirkulasi udara yang baik. Pencarian kamar kost ini akhirnya berujung pada sebuah kamar berukuran 2 x 3 m yang terletak di belakang sebuah warung makan. Fasilitas yang saya dapatkan untuk sebuah kamar non-AC seharganya 600ribu rupiah per bulan hanyalah lemari, kasur dan fasilitas cuci-gosok. Kamar mandi terletak di luar kamar, terdapat tiga kamar mandi untuk keseluruhan 15 kamar yang ada di dalam kompleks kost-kostan ini, yah kalau pagi-pagi jadi antri mandi dan paling apes kehabisan air di bak mandi. Alasan utama saya memilih kost ini karena di depan kamar saya masih ada sepetak lahan kosong yang difungsikan sebagai taman dan tempat menjemur pakaian, jadi kost-kostan tidak terlalu terasa sempit dan sirkulasi udara dapat berputar dengan baik. Yah, di kamar inilah saya harus berjuang menyelesaikan draft tulisan untuk buku nanti. 

Kamar saya yang paling pinggir di bawah tangga (berasa jadi Harry Potter)

Aib memamerkan foto ini, kamar saya memang berantakaaannn...

Working corner

Sedikit refreshing di kala penat

Roda kehidupan saya selama penulisan buku hanya berputar antara kantor dan kamar kost dari hari Senin sampai Jumat, setiap akhir pekan saya habiskan di rumah dengan menulis juga. Kegiatan saya berpusat antara kerja di kantor - pulang kerja - mandi - kerja lagi untuk nulis buku, lama-lama saya frustasi juga dengan ritme hidup seperti ini, saya muak dan lelah menulis, bagi saya menulis adalah kegiatan kreatif yang tidak dapat dipaksakan, tulisan saya saat tidak mood nulis jeleeekk banget dan akhirnya saya buang dengan percuma. Belum lagi sifat perfeksionis saya yang sudah mendarah daging, saya ingin setiap tulisan dapat dibuat sebaik dan sejelas mungkin, ada mood tertentu yang tersampaikan pada pembaca tulisan saya, terlebih ada tanggung jawab profesional untuk membuat sebuah tulisan layak baca agar pembaca buku saya kelak tidak menyesal telah mengeluarkan uang mereka untuk membeli buku saya (again, curhat colongan). 

Seringnya saya mati ide, bagaimana saya harus mengawali dan mengakhiri sebuah cerita, bagaimana cara menyampaikan cerita yang baik kepada orang lain, dan berdiam diri di dalam kamar memikirkan itu semua tidaklah membuahkan jalan keluar apapun. Saya jadi kangen masa-masa dimana saya menjadi seorang komuter, bolak-balik rumah-kantor, menghabiskan waktu berjam-jam di atas transportasi umum, berbaur dengan kesibukan kota Jakarta, menangkap momen-momen yang berbeda setiap harinya, memikirkan banyak hal, mengkhayalkan imajinasi konyol yang membuat saya tersenyum simpul, menguping pembicaraan orang lain di atas bus transjakarta, intinya kebanyakan kegiatan yang saya lakukan selama menjadi komuter membuat saya banyak berkontemplasi tentang berbagai hal yang dapat saya tuangkan dalam bentuk tulisan, disinilah proses kreatif dalam kehidupan saya terjadi. Tiba-tiba saya kangen dengan kegiatan bangun dini hari untuk berangkat kerja, berdesakan di atas bus transjakarta, lari-lari ke kantor karena sebentar lagi jarum jam tepat berada di angka delapan, hingga kelap-kelip Jakarta di kala malam yang menjadi penutup di hari tersebut. Saya merindukan dinamika hidup itu.   

Bulan Ramadhan hadir seminggu setelah draft buku saya selesai. Sekarang kegiatan saya menjadi kerja di kantor - pulang ke kost - bingung ngapain lagi. Karena tidak memiliki pekerjaan tetap di kost saya menggunakan waktu pulang kantor untuk berbaur kembali dengan hedonisme kota Jakarta. Well, nggak hedon banget sih, palingan cuma nonton, kelayapan di mall, kopdaran sambil buka puasa bareng Mila ;) dan rutin dateng ke berbagai undangan buka puasa bareng lainnya. Tapi lama-lama film yang bisa saya tonton habis, nggak ada undangan buka puasa bareng, mau belanja tapi jatah THR udah ludes, akhirnya saya terdampar di kamar kost tanpa melakukan kegiatan berarti sedikitpun. Paling ngenes waktu sahur untuk puasa, penghuni di kostan saya mayoritas non-muslim dan saya harus berbesar hati untuk sahur sendirian di dalam kamar dengan lauk seadanya dan ditemani siaran radio Prambors. Berbeda ceritanya kalau sahur di rumah, meja makan penuh dengan masakan hangat buatan mama, sahur dengan keluarga tersayang dilanjutkan dengan salah Subuh berjamaah. Huaaahhh kangen rumaahhh.... 

Bukan berarti saya tidak bersyukur dengan keadaan yang ada dan hanya terus-terusan mengeluh, hanya saja semua hal ini membuat saya sadar dengan beragam hal kecil yang seringkali luput dari perhatian saya. Biasanya saya hanya mengeluh saat bus pulang datang terlambat, tidak terlalu peduli dengan bekal sarapan dan makan siang yang mama selipkan di tas saya, dan tidak sadar dengan banyaknya orang yang peduli dan sayang sama saya. Kalau tahun kemarin saya selalu buka puasa di atas bus, sekarang saya bisa buka puasa di kantor bersama 'keluarga kedua' saya, mereka aware banget dengan kondisi saya yang sekarang kost dan melebihkan jatah snack buka puasa untuk saya, Alhamdulillah. Saya juga ngalamin buka puasa sambil gelantungan di atas busway, pramudi buswaynya dengan santun menginformasikan waktu berbuka telah tiba dan penumpang dipersilahkan untuk berbuka puasa. Favorit saya sih waktu azan berkumandang saat saya lagi jalan menuju halte bus, saya bersama puluhan orang lainnya menepi sebentar dan meninggalkan kesibukan mereka untuk sekedar membatalkan puasa, momen-momen berpuasa menjadi begitu indah saat kita bisa memaknainya dengan perspektif yang berbeda.

Buka puasa di kantor 


Well, puasa tinggal sehari lagi tapi saya tidak yakin telah memanfaatkan bulan yang mulia ini semaksimal mungkin, semoga kita masih dipertemukan dengan Ramadhan berikutnya dan memperbaiki semua kekurangan di Ramadhan sebelumnya. Saya kost pun tinggal sebulan lagi, nggak kuat dengan biaya hidup Jakarta yang lama-lama membobol tabungan saya, kalau mau ngajak saya kelayapan atau kopdaran di Jakarta pulang kerja jangan lewat dari bulan September ya ;) Mau jadi anak kost atau komuter keduanya memiliki sisi positif dan negatifnya masing-masing, tinggal bagaimana cara kita melihatnya dengan sudut pandang yang lain. Bagi saya, keduanya membuat pengalaman hidup saya menjadi lebih kaya dan berwarna :)


PS: Studi kasus kost Jakarta dalam tulisan ini hanya terletak di seputar kawasan Hayam Wuruk - Gajah Mada.

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Anak Kost vs Komuter