Travelinglah Selagi Masih Muda. Sebelum Menyesal

Dolphin Love

"Pengen foto bareng lumba-lumba", jawab saya polos ketika seorang teman menanyakan alasan saya mengajaknya pergi ke Gelanggang Samudera. Jelas, jawaban itu membuatnya tertawa geli dan mempertanyakan kedewasaan pikiran otak saya. "Kenapa sih, emang salah ya udah segede gue pengen foto bareng lumba-lumba?" tanya saya sambil merengut sebal. Si teman langsung menghentikan tawanya namun tetap memandang saya dengan aneh "Ya enggak sih Cha, tapi emang waktu kecil lo nggak pernah foto bareng lumba-lumba?". "Enggak, dulu gue cuma suka nonton pertunjukannya aja". Hmph, di umur seperempat abad seperti ini, ditambah lagi lingkungan pertemanan yang didominasi teman-teman sebaya membuat proposal saya untuk 'jalan-jalan-ke-gelanggang-samudera-terus-foto-sama-lumba-lumba' ditolak mentah-mentah oleh mereka. 

Dari kecil saya sudah suka sama lumba-lumba. Bagi seorang Rossa kecil lumba-lumba adalah binatang yang magical, bahkan Rossa dewasa (bener gitu udah dewasa?) pun tetap menganggap lumba-lumba adalah mamalia laut yang sangat magical. Dulu Rossa kecil hanya kagum pada lumba-lumba karena kemampuan mereka untuk melompat tinggi melewati palang maupun lingkaran-lingkaran (lingkaran api sekalipun!), melemparkan bola ke arah pengunjung, bahkan lumba-lumba itu mampu meloncat ke tepian kolam dan melengkungkan badannya sambil bercicit manja saat pelatihnya mengelus mereka. Kemudian Rossa dewasa yang telah banyak bersentuhan dengan informasi akhirnya mengetahui fakta-fakta lain tentang lumba-lumba. Binatang ini hidup berkelompok dan mengeluarkan sonar yang terdengar seperti cicitan ikan untuk berkomunikasi dengan teman-temannya. Lumba-lumba juga tergolong hewan yang ramah dan mudah bersahabat dengan manusia. Baru-baru ini berenang bersama lumba-lumba bahkan dijadikan sebagai salah satu alat terapi untuk anak autisme. Tuh kan, lumba-lumba memang binatang yang magical banget. 

Tempat favorit Rossa kecil untuk melihat lumba-lumba adalah Gelanggang Samudera, Ancol. Disana Rossa kecil terus-terusan menatap lumba-lumba dan tertawa-tawa melihat tingkahnya yang lucu. Saat pertunjukan berlangsung biasanya pelatih lumba-lumba meminta seorang pengunjung menjadi volunteer untuk menunjukkan kehebatan lain dari lumba-lumba. Pengunjung yang terpilih akan menaiki sebuah perahu karet kecil, kemudian lumba-lumba akan berenang di kanan dan kiri perahu sambil mendorong perahu menggunakan sirip mereka. Papa selalu menawarkan Rossa kecil untuk menjadi volunteer, tapi Rossa kecil selalu menolak dan menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Bukan karena Rossa kecil takut akan terjatuh dan tenggelam lalu dimakan lumba-lumba, dia cukup yakin lumba-lumba terlalu cerdas untuk melakukan kesalahan sebodoh itu, dan dia juga tahu lumba-lumba tidak pernah memangsa manusia. Rossa kecil sebenarnya hanya khawatir badan lumba-lumba akan sakit saat mendorong perahu dan penumpang di atasnya, sebenarnya dia sungguh sangat tidak tega.

Saat pertunjukan selesai Papa akan bertanya pada Rossa kecil, "Teteh mau foto sama lumba-lumba nggak?". Lagi-lagi Rossa kecil menggelengkan kepalanya kuat-kuat walaupun matanya terus-terusan mencuri pandang kepada antrian anak-anak sebayanya yang menunggu giliran untuk berfoto bersama binatang ajaib tersebut. Rossa kecil memang selalu menyimpan pikiran aneh di kepalanya "Jangan jajan banyak-banyak. Jangan minta macem-macem sama Papa. Nanti uang Papa habis. Nanti Papa jadi miskin". Padahal Rossa kecil belum cukup mengerti berapa pendapatan kedua orang tuanya, berapa ukuran kaya atau miskin untuk kedua orang tuanya, atau bahkan berapa besar kategori 'banyak-banyak' yang ditetapkan olehnya. 

Dan tiba-tiba saja Rossa dewasa ingin kembali ke masa kanak-kanak tersebut dan menikmati keriaan masa kecil. Mendengar cicitan khas lumba-lumba, tertawa melihat tingkah lakunya yang menggemaskan, dan dibuat kagum dengan kehangatan yang lumba-lumba bawa ke dalam atmosfer yang mengelilingi tempat pertunjukan. 

......

Kemudian beberapa tahun berlalu setelah keinginan konyol 'Pengen foto bareng sama lumba-lumba' terucap dan perlahan tapi pasti Rossa dewasa mulai melupakan keinginannya tersebut. 

*****

Satu-satunya tempat dimana saya menjadi 'The youngest' dan berbaur dengan begitu banyak orang dari berbagai kalangan umur adalah kantor. Perbedaan usia ini terkadang menimbulkan perpecahan saat menentukan tempat dan destinasi outing kantor tahunan. Anak-anak muda pengennya pergi ke tempat yang berbau petualangan yang memompa adrenalin: Dufan, rafting, snorkeling. Orang-orang tua pengennya pergi ke tempat yang damai dan santai: piknik, kebun teh, pantai, pemandian air panas. Di saat trend pekerja kantoran Jakarta pergi outing ke luar negeri, kantor saya pergi jalan-jalan ke Taman Safari. Sumpah jomplang abis! Saya cuma bisa nerima dan pasrah, toh saya juga sudah lama nggak main ke Taman Safari. Terakhir kali waktu SD sepertinya. Mama bahkan sampai berpesan aneh-aneh sebelum saya pergi outing "Kamu hati-hati disana ya, jangan ketawa kenceng-kenceng, jangan teriak-teriak, nanti ada macan atau gajah yang marah terus nyerang kamu". Yeah, pikiran mama memang seringkali berlebihan.

Sebagai seseorang yang sudah lama banget nggak pergi ke kebun binatang, saya dibuat kagum oleh Taman Safari. Ternyata jalan-jalan ke tempat ini seru juga, binatang dilepas bebas dan berkeliaran di luar kendaraan yang sedang dinaiki. Dan apa itu.... ya ampun, gajah, macan, monyet, kuda nil, zebra, jerapah, semuanya terlihat begitu dekat. Binatang-binatang yang biasanya hanya dilihat di TV sekarang tampil live di balik kaca jendela mobil. Semua teman kantor heboh dan menunjuk-nunjuk hewan yang ada. Semua orang, anak-anak muda maupun orang-orang tua tiba-tiba berubah menjadi anak kecil kembali. Ah, bukankah menyenangkan menikmati kembali keriaan masa kecil seperti ini.

Hanya terpisah kaca mobil
(Photo courtesy of Pusti Juwita)

"Pa, kasih saya makanan nggak pa. Kalau nggak mobil bapa saya tendang nih" *edisi binatang preman*

Selesai berkeliling dengan mobil, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki untuk melihat berbagai pertunjukan hewan yang diadakan. Pertunjukan pertama yang saya lihat menggunakan gajah sebagai binatang panggungnya, inti ceritanya adalah habitat gajah yang semakin terdesak karena pesatnya pertumbuhan penduduk. Habitat gajah yang mulai digunakan sebagai pemukiman dan ladang membuat gajah semakin terdesak dan kelaparan, akhirnya kerumunan gajah menyerbu ladang dan pemukiman penduduk. Pertunjukan ini menekankan pentingnya melestarikan habitat asli gajah dan sebenarnya gajah pun dapat hidup berdampingan dengan manusia. Cerita sederhana yang disampaikan secara sederhana, anehnya tubuh saya bergetar dan mata saya berkaca-kaca. Sebut saya melankolis atau berlebihan, tapi saat melihat gajah tersebut pura-pura pincang terkena tembakan seorang penduduk, lalu kemudian jatuh dan pura-pura mati, saya mati-matian menyembunyikan air mata yang menggenang di pelupuk mata. Sesungguhnya, hal seperti inilah yang terjadi di dunia yang sebenarnya bukan? Dunia dimana para hewan diperlakukan tidak adil dan hak hidup mereka direbut secara paksa oleh manusia. 

Gajah bisa hidup berdampingan dengan manusia

Sebenarnya, acara jalan-jalan ke Taman Safari ini membuat saya menahan sesak yang menumpuk di dada. Di balik riuh rendah tepuk tangan penonton, apakah mereka sadar bahwa pertunjukan yang mereka saksikan itu benar-benar sedang terjadi di luar sana. Saya tidak pernah menyangka, jalan-jalan ke kebun binatang ternyata merupakan salah satu acara jalan-jalan yang cukup emosional untuk saya. 

Huff... Dari satu pertunjukan ke pertunjukan lain, dari satu cerita ke cerita lain, sampai akhirnya rombongan saya sampai ke Dolphin Show. Saya langsung semangat dan berjalan paling depan untuk mencari tempat strategis, tingkah laku saya tidak berbeda jauh dengan anak-anak kecil yang menjadi saingan saya saat itu. Air kolam terlihat berwarna hijau, bukan karena keruh atau kotor tapi untuk menyesuaikan dengan kondisi air di habitat asli lumba-lumba. Saat tempat pertunjukan mulai penuh, pembawa acara dengan kostum safari menyapa pengunjung yang datang dan memperkenalkan tiga lumba-lumba yang tampil hari itu. Sebelum memulai pertunjukan dia memberi tahu beberapa fakta dan informasi mengenai lumba-lumba, namun informasi yang paling menempel di kepala saya adalah fakta yang menyebabkan semakin kecilnya populasi lumba-lumba di dunia "Selain karena predator alam seperti ikan hiu, lumba-lumba justru lebih banyak mati karena ulah manusia. Seringkali lumba-lumba tersangkut di jaring nelayan, sengaja ditangkap manusia untuk diperjual belikan sebagai makanan, dan tentu saja karena pencemaran air dan lingkungan yang dilakukan manusia". 

Three dolphin on the stage

Selama pertunjukan berlangsung saya terus kepikiran satu hal. Betapa jahatnya kita sebagai manusia. Dengan mudahnya kita merusak habitat suatu makhluk hidup, merebut hak hidup suatu populasi yang tidak berdaya melawan kekuatan manusia, hingga akhirnya mereka menyerah kalah. Langka. Untuk kemudian punah. Saya mengembalikan perhatian ke lumba-lumba yang sedang melompat tinggi, awalnya saya kasihan karena mereka terpaksa tinggal di kolam sekecil ini, bukan di lautan luas dan berkumpul dengan teman-temannya. Tapi kemudian saya berpikir ulang, jangan-jangan mereka lebih baik hidup di kolam ini. Dijaga, dirawat, dicintai, tanpa perlu takut dengan ulah perusakan manusia. 

Di akhir pertunjukan pembawa acara juga mempersilakan penonton yang ingin berfoto bersama lumba-lumba. Cukup dengan donasi Rp 15.000 yang nantinya akan digunakan untuk usaha pelestarian lumba-lumba. Cepat-cepat saya merogoh dompet dan menghitung lembarannya, sedikit cemas karena belum sempat ambil uang tunai sebelumnya (tipe orang yang selalu mengandalkan uang plastik). Ah, ternyata cukup untuk membayar biaya foto untuk dua orang, saya langsung menarik tangan Pusti yang agak sedikit ragu dengan ide ini dan masuk ke area pertunjukan. Setelah berdiri di tepian kolam, pelatih lumba-lumba memanggil saya untuk mendekat dan berlutut di tepian kolam, dia juga memberi beberapa instruksi singkat "Nanti pegang di bagian atas siripnya aja mba", lalu dengan isyarat singkat dari sang pelatih seekor lumba-lumba meloncat naik di sebelah saya.

Pelatih dan lumba-lumba unyu-unyu 
(Photo courtesy of Pusti Juwita)

 Take One :)
(Photo courtesy of Pusti Juwita)

 Take Two :D
(Photo courtesy of Pusti Juwita)

 Take Three :*
(Photo courtesy of Pusti Juwita)

Bye dolphin 
(Photo courtesy of Pusti Juwita)

elus-elus
(Photo courtesy of Pusti Juwita)

Amazing. Binatang yang selalu saya anggap magical ini ada di sebelah saya, dengan jinaknya berdekatan dengan saya dan menahan dirinya cukup lama di atas air. Setelah beberapa frame dan lumba-lumba kembali ke dalam air saya tetap berlutut dan mengamati gerak-geriknya dari jauh. "Mereka memang magical" bisik saya kepada diri sendiri. Lumba-lumba, tetaplah hidup sampai beribu-ribu generasi selanjutnya. Buatlah Rossa kecil lainnya terpesona dengan keajaibanmu. Buatlah semakin banyak Rossa dewasa yang kembali mengingat keriaan masa kecilnya hanya dengan melihatmu atau dengan mendengar cicitanmu yang khas itu. Lumba-lumba, tetaplah bertahan hidup ya. 

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+

Related : Dolphin Love