Sistem pemerintahan monarki konstitusional adalah sistem pemerintahan dimana Raja memegang peranan sebagai kepala negara sedangkan kepala pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri. Dengan kata lain Perdana Menteri memegang peranan untuk menjalankan pemerintahan suatu negara sedangkan Raja lebih merupakan ketua simbolis negara tersebut. Negara apa yang sampai saat ini masih menjalankan sistem monarki konstitusional? Jawaban pertama yang terlintas di kepala saya adalah Inggris. Jawaban alternatif tambahan? Eeerr... saya nggak tahu *kalau ikutan cerdas cermat pasti saya kalah telak*. Yeah, dengan jumlah total 33 negara di dunia yang memakai sistem monarki konstitusional, saya cuma tahu Inggris sebagai negara yang menganut sistem pemerintahan (nyaris) kuno seperti ini. Maafkanlah, nilai Geografi saya memang jelek.
Kenapa sih Inggris segitu terkenalnya dengan sistem monarki konstitusional dibanding negara-negara lain yang menganut paham serupa. Well, siapa juga yang nggak pernah denger berita tentang keluarga kerajaan Inggris, mulai dari kematian Lady Diana, Ratu Elizabeth II yang menampilkan kesan antipati, gosip-gosip di seputar lingkungan kerajaan Inggris, sampai berita terbaru adalah royal wedding Pangeran William yang (lagi-lagi) menyita perhatian dunia. Nggak heran lah kalau legenda kerajaan Inggris ini begitu mendunia dan langsung menempel di otak saya saat membicarakan sistem pemerintahan monarki konstitusional. Khusus untuk pecinta jalan-jalan, Inggris menjadi begitu fenomenal sekaligus menjadi negara destinasi impian karena menawarkan berbagai atraksi yang berkaitan dengan 'remeh-temeh' kerajaan. Mau jalan-jalan ke kediaman keluarga kerajaan di Buckingham Palace, desek-desekan dengan sesama turis demi bisa melihat atraksi changing guard, sampai mampir ke Westminster Abbey yang menjadi tempat Pangeran William nikah kemarin. Salah satu highlight pariwisata Inggris yang mengedepankan 'remeh-temeh' kerajaan ini secara tidak langsung membuat dunia dengan mudahnya mengingat Inggris sebagai negara monarki konstitusional.
Haruskah saya ke Inggris demi bisa merasakan atmosfir dari sebuah negara dengan sistem monarki konstitusional, demi bisa melihat langsung atraksi pergantian penjaga yang menyedot perhatian seluruh turis di berbagai belahan dunia, dan demi bisa berfoto dengan salah satu penjaga yang (ehem) good looking tersebut? Ternyata tidak. Eropa sendiri memiliki 12 negara dengan sistem pemerintahan monarki konstitusional, dan Skandinavia yang terdiri dari Swedia, Norwegia, dan Denmark masuk ke dalamnya. Seperti layaknya Inggris, negara-negara Skandinavia juga menjadikan berbagai 'remeh-temeh' kerajaan sebagai salah satu jualan pariwisata mereka.
Seperti semua wisatawan lain yang merencanakan perjalanan ke negara yang masih memfungsikan Raja sebagai kepala negara, maka saya pun memasukkan agenda 'remeh-temeh' kerajaan ke dalam itinerary saat berkesempatan datang ke Skandinavia. To do list yang harus dilakukan antara lain mampir ke Royal Palace untuk melihat kediaman keluarga kerajaan, melihat prosesi pergantian penjaga di halaman Royal Palace, dan tentu saja berfoto bersama penjaga istana yang oh-so-cute itu. Jalan-jalan ke sebuah negara dengan sistem monarki konstitusional rasanya belum lengkap jika melewatkan kesempatan berfoto dengan penjaga istana yang sedang bertugas di halaman istana. Berpose narsis dan menggoda para penjaga yang berdiri dengan sikap sempurna dan pandangan tegak lurus ke depan, sekedar untuk membuktikan bahwa mereka tidak akan bergeming dari posisi sikap sempurnanya, menjadi momen yang pantang untuk dilewatkan.
Sebagai seorang solo traveler, saya cukup beruntung bertemu dengan beberapa teman yang berbaik hati menemani saya berkeliling pusat kota dan mengantarkan saya ke Royal Palace yang menjadi magnet utama pariwisata di Skandinavia. Hari pertama menjejakkan kaki di tanah Swedia saya sudah bersemangat untuk mengeksplorasi negara ini. Tidak peduli dengan kata jetlag dan penampilan kuyu karena telah menghabiskan waktu selama 18 jam di dalam pesawat, setelah check in ke hostel yang telah dipesan, menaruh ransel, dan cuci muka-gosok gigi ala kadarnya, saya siap berkenalan dengan Stockholm. Sisa sore itu saya habiskan dengan berjalan-jalan di taman utama kota dan pusat perbelanjaan yang sudah mulai sepi. Walaupun musim panas dan matahari memperpanjang sinarnya sampai jam 10 malam, para pemiliki toko di Stockholm tetap konsisten menutup toko mereka saat jarum jam masuk ke angka 7 atau 8 malam.
Cukup disayangkan, saat kebanyakan wisatawan masih banyak berkeliaran di pusat kota, kebanyakan toko sudah tutup. Padahal kesempatan ini bisa mereka gunakan untuk buka lebih lama dan menjual souvenir lebih banyak lagi. Namun seperti itulah jam kerja yang diterapkan di Stockholm dan para pemilik toko maupun pegawai taat dengan peraturan yang ada. Jadilah di sore yang beranjak ke malam itu saya berjalan-jalan di pusat Gamla Stan (kota tua) yang sepi dari hiruk-pikuk keramaian pengunjung kafe dan toko souvenir. Gamla Stan hanya dipenuhi beberapa wisatawan lainnya yang masih ingin mengelilingi kompleks kota tua ini ditemani dengan cahaya matahari dan angin dingin yang mulai bertiup.
Malam masih terang saat saya melangkahkan kaki ke kompleks Royal Palace. Beberapa penjaga istana nampak berjaga di posnya masing-masing dan beberapa wisatawan berkeliaran untuk mengamati kompleks istana maupun berfoto dengan latar Royal Palace. Tiba-tiba terdengar sebuah hardikan yang cukup keras dengan bahasa yang tidak saya kenal. Dengan sebuah isyarat tangan dan raut wajah tegas seorang penjaga istana dengan langkah tegap memerintahkan seorang wisatawan yang berjalan terlalu dekat dengan kompleks istana untuk mundur. Saya kaget sekaligus jiper dengan ketegasan yang mereka tampilkan. Damar yang menemani saya kala itu memperlihatkan garis-garis hitam yang dibuat di beberapa tempat, pengunjung tidak diperbolehkan untuk melewati garis tersebut. Wisatawan yang ditegur tadi ternyata melewati garis hitam sehingga mendapat teguran oleh penjaga istana. Kalau saja Damar tidak memberitahukan hal penting ini pasti saya akan menjadi orang selanjutnya yang terkena teriakan dari salah satu penjaga istana.
Selain mengitari beberapa tempat yang dianggap sentral di halaman Royal Palace, garis hitam ini juga melingkari pos-pos tempat penjaga istana berdiri. Untuk saya hal ini secara tidak langsung menyampaikan pesan 'Dilarang Berfoto Terlalu Dekat Dengan Penjaga Istana'. Tanpa diminta Damar langsung berinisiatif mengambil kamera saya dan menyuruh saya berpose di salah satu pos penjaga. Dengan garis hitam selebar itu tidak mungkin saya bisa berpose terlalu dekat dengan penjaga apalagi sampai menggoda mereka yang berdiri kaku dengan sikap sempurnanya. Di bawah tatapan tajam penjaga istana yang memperhatikan gerak-gerik saya dan diantara angin dingin Stockholm yang mulai menusuk kulit dan meniup rambut saya ke segala penjuru arah, Damar mengambil foto perdana saya dengan penjaga istana di sebuah negara monarki konstitusional yang kali pertama saya kunjungi.
Jauh beneeerr jaraknya..
(Photo courtesy of Damar)
Beranjak dari Swedia, saya pergi ke negara monarki konstitusinal selanjutnya: Norwegia. Matahari musim panas bersinar dengan cerah dan langit biru menjadi latar yang melengkapi keanggunan bangunan Oslo Royal Palace. Halaman istana nampak ramai dengan wisatawan yang antusias berfoto dengan penjaga istana sekaligus menunggu momen changing guard yang akan berlangsung satu jam ke depan. Sambil berlari-lari kecil saya menuju salah satu pos penjaga yang tepat berada di pintu utama istana, di depan pos tersebut para wisatawan telah membuat sebuah kerumunan dan bergantian berfoto dengan penjaga istana. Saat akhirnya tiba giliran saya untuk berfoto, saya baru menyadari satu hal. Berbeda dengan Stockholm Royal Palace, di Oslo Royal Palace tidak ada garis hitam yang membatasi jarak antara penjaga istana dengan pengunjung yang ingin berfoto. Jadi seberapa jauh atau dekatkah jarak yang harus saya ambil? Tidak ada aturannya. Saya tinggal pinter-pinter atur jarak aman, jangan terlalu dekat, jangan juga terlalu jauh. Sip, lalu pasang gaya andalan dan cheers...
"How is it?", tanya saya ke Felicity yang bersedia menjadi fotografer dadakan sambil tetap berdiri di samping si penjaga istana. Kalau hasilnya kurang oke saya bisa foto lagi tanpa harus antri dari awal. "Muka penjaganya ketutupan bulu", jawab dia sambil mengecek hasil foto. Saya refleks melihat wajah si penjaga istana. Benar saja, wajahnya tertutup bulu yang berasal dari topi bulu yang melambai-lambai di atas kepalanya. Iseng-iseng saya mencoba meniup bulu tersebut agar menepi ke pinggir wajah. Tanpa diduga, sang penjaga mengibaskan kepalanya ala model iklan shampo untuk menyingkirkan bulu tersebut dari wajahnya demi hasil foto yang lebih oke lagi. Saya kaget terpana dan mendadak speechless. Ternyata dia bisa bergerak!!! Saat kesadaran saya kembali dan mengucapkan "Thank you", sekilas saya melihat senyum tipis terulas di wajah penjaga istana itu, dan tanpa menglihkan pandangan matanya yang tegak lurus ke depan dia membalas, "You're welcome". Ternyata dia bisa bicara!!! Ya ampun mas penjaga istana, kamu sudah ganteng, baik hati dan ramah pula. Ikut aku ke Indonesia yuk ;)
Cheers...
(Photo courtesy of Felicity)
Hufff.. Pergi kau bulu!!!
(Photo courtesy of Felicity)
Whoaa... He's talking to me!!!
(Photo courtesy of Felicity)
Beda lagi ceritanya saat saya bertandang ke Bangkok. Saya baru tahu kalau negara ini juga menganut sistem monarki konstitusional saat datang ke Grand Palace (saya sudah bilang kalau nilai Geografi saya jelek kan?). Setelah berkeliling kompleks Grand Palace yang besar dan mengagumi arsitekturnya yang luar biasa detail dan rumit saya menemukan sebuah kerumunan wisatawan. Usut punya usut ternyata mereka sedang antri foto dengan seorang penjaga istana yang berdiri pasrah dan mati-matian mempertahankan wajah seriusnya. Kalau mau foto dengan penjaga istana ini harus sabar antri karena peminatnya banyak banget. Saya sih seneng-seneng saja antri menunggu giliran, sambil bersyukur ternyata saya bisa menambah koleksi foto dengan penjaga istana lagi di sebuah negara monarki konstitusional. Lama-lama saya jadi kepo pengen datang ke negara monarki konstitusional lainnya di dunia ini demi bisa menikmati 'remeh-temeh' atraksi kerajaan sekaligus menambah koleksi foto dengan penjaga istana, hehe ;)
Mas mas, ini senjatanya tajem beneran nggak?
(Photo courtesy of @KniaSafitri)
Penjaga istana di kompleks Grand Palace ternyata cukup banyak dan tersebar di beberapa titik. Saya bisa bebas berfoto sepuas mungkin tanpa harus antri atau merasa tidak enak dengan wisatawan lain yang menunggu giliran. Bukan bermaksud rasis, kalau saya perhatikan penjaga istana di Grand Palace ini kurang ganteng, hehehee... Hanya seragam yang mereka kenakan dan jabatannya sebagai penjaga istana membuat mereka nampak berkilauan dan menjadi sorotan oleh pengunjung. Mungkin karena saya juga datang dari negara Asia jadi sudah familiar dengan karakteristik ras Mongoloid sehingga saya tidak terlalu asing dengan penampilan fisik masyarakat dari negara tetangga di seputaran Asia lainnya, seperti rambut hitam, warna kulit coklat ataupun kuning, dan ukuran badan yang cenderung kecil dan pendek. Berbeda saat saya traveling ke Eropa yang didominasi oleh ras Kaukasoid, semua orang seperti terlihat lebih ganteng dan cantik berkat warna kulit pucat, warna kornea mata dan warna rambut yang lebih terang. Dengan penampilan ras Kaukasoid yang jarang saya temui di masyarakat sehari-hari, mereka terlihat begitu berkilauan di mata saya yang awam ini. Kalau ras Kaukasoid seperti ini ditambahkan dengan seragam penjaga istana tentu saja peringkat gantengnya jadi bertambah berkali-kali lipat :p
Setiap negara memang memiliki karakteristik dan keunikannya masing-masing. Hanya dari hal konyol yang berawal dari kenarsisan saya untuk mengabadikan diri bersama penjaga istana dari setiap negara monarki konstitusional yang dikunjungi saya mendapat pengalaman yang berbeda-beda. Di Stockholm saya dipelototin oleh penjaga istana saat berfoto sambil menginjak garis hitam yang melingkar di sekitar pos tempatnya berjaga. Diam-diam saya ingin merasakan hardikan penjaga istana, namun di saat yang bersamaan saya juga takut mendapat omelan keras darinya. Di negara serba mahal seperti Oslo saya mendapat keramahan luar biasa oleh penjaga istananya. Mereka seperti sadar betul kalau secara tidak langsung mereka menjadi salah satu aset dan jualan dari dunia pariwisata Oslo dan berusaha 'menjamu' wisatawan yang telah bertandang ke negaranya sebaik mungkin. Sedangkan di Bangkok penjaga istananya antara cuek dan rikuh dengan arus wisatawan yang ramai-ramai menghampiri sekaligus menggoda mereka saat berfoto bersama. Mereka seperti pasrah menjadi manekin hidup yang dipajang di halaman istana untuk melengkapi aura kemegahan kompleks Grand Palace.
Dan semua pengalaman ini pada akhirnya hanya membuat saya semakin meneguhkan hati untuk terus dan terus mengunjungi negara lain yang masih menerapkan sistem pemerintahan kuno bernama monarki konstitusional.