Tahun 2014 kemarin keluarga saya mengambil satu keputusan besar: pindah rumah. Sebenarnya sudah lama kami ingin pindah rumah tapi kendala demi kendala selalu datang dan menghambat rencana besar tersebut. Saya dan mama adalah dua orang yang sudah masuk dalam kategori 'desperately' ingin pindah rumah. Daerah rumah lama kami memang sudah tidak nyaman lagi untuk menjadi tempat tinggal. Lahan industri telah mengekspansi lahan hunian, truk-truk besar semakin sering lewat, dan macet panjang ikut menjadi rutinitas harian. Saya yang jenuh dengan suasana tersebut malah sempat mengambil satu keputusan ekstrim: pindah ke rumah nenek di Bogor dan hanya pulang ke rumah saat akhir pekan.
Di tahun 2013 papa pensiun dari pekerjaannya. Sebagian uang pensiunnya beliau gunakan untuk membeli rumah di daerah Cibinong. Rumah baru ini berada di kawasan hunian yang mayoritas adalah perumahan. Akses kereta, jalan tol, pusat perbelanjaan dapat dicapai dengan mudah dari tempat tersebut. Benar-benar sebuah rumah di lokasi impian, berbeda 180 derajat dengan kondisi lingkungan rumah kami yang dulu. Masalahnya adalah, adik dan papa saya tidak mau pindah dari rumah lama sebelum rumah lama terjual.
Keluarga saya pun terpecah. Saya tetap tinggal di Bogor dan hanya pulang saat akhir pekan, mama membagi waktunya dalam seminggu: empat hari di rumah lama, tiga hari di rumah baru, papa yang mendapat pekerjaan baru setelah pensiun tinggal di Karawang selama hari kerja dan hanya pulang saat hari libur, sedangkan adik saya tetap tinggal di rumah lama. Keadaan ini berjalan beberapa waktu hingga akhirnya saya dan mama saling memberi tenggat pada diri masing-masing: setelah lebaran Idul Fitri tahun 2014, kami akan pindah dan menetap di rumah baru.
Di luar dugaan, pekerjaan baru papa hanya bertahan selama satu tahun dan beliau memutuskan pensiun total. Maka penghuni rumah baru pun bertambah satu orang lagi sementara adik saya yang keras kepala tetap kekeuh tinggal di rumah lama. Dia tidak mau pindah sebelum rumah lama terjual! Hati mama terbelah dua, anaknya yang satu masih tinggal di rumah lama dan yang satu lagi tinggal di rumah baru. Maka mama pun berkunjung ke rumah lama sesering yang dia bisa. Sering mama bercerita kesedihan hatinya melihat kondisi rumah dan adik saya yang tidak terurus. Bagaimanapun, mengurus dua rumah di dua lokasi berbeda yang berjauhan adalah sebuah pekerjaan berat. Hingga akhirnya mama sakit dan nyaris dirawat di rumah sakit.
Kondisi mama yang sakit dan kami sekeluarga tahu persis apa penyebabnya membuat kami merancang ulang rencana yang telah dibuat. Rumah lama harus segera dijual dan kami sekeluarga berkumpul di rumah baru. Proses penjualan rumah tidak dapat dibilang mudah, bahkan cederung alot dan menguras emosi. Harga jualnya pun jatuh bebas di pasaran dan kami hanya mendapat setengah harga dari penawaran awal. Sedih, sakit hati, marah, semuanya campur jadi satu. Tapi keputusan kami sudah bulat. Setelah beberapa bulan bolak-balik mengurus ini-itu, rumah lama kami pun resmi terjual.
Dan sampailah kami ke proses tersebut: pindahan. Awalnya barang-barang besar kemudian barang yang kecil-kecil. Lama-kelamaan, tanpa kami sadari, rumah lama kami menjadi kosong dan hampa. Pernah satu kali mama mengirim sms, mengatakan betapa sedihnya dia melepas rumah lama. Bagaimana tidak, rumah itu telah beliau tinggali semenjak beliau menikah lalu melahirkan anak pertama, anak kedua, melihat anak-anaknya tumbuh besar, masuk sekolah, lulus, kuliah hingga bekerja. Rumah itu telah menopang kehidupan kami nyaris 30 tahun lamanya. Semua cerita, suka, duka, tawa, tangis, canda, terekam di dalamnya. Rumah itu telah menjadi saksi kami bertumbuh menjadi sebuah keluarga.
Saat saya membaca curahan perasaan beliau, hati saya sama sekali tidak tergerak. "Halah, mama lagi-lagi lebai dalam mengungkapkan perasaannya. As usual," ungkap saya dalam hati.
Saya memang tidak terlibat banyak dalam proses pindahan karena hanya membantu saat akhir pekan. Minggu lalu, di penghujung tahun 2014, saya mampir ke rumah lama dan membantu pindahan. Rumah lama kami telihat dingin. Teralis jendela sudah dilepas, beberapa kaca sudah tercabut dari rangka jendela, rumpun melati tumbuh liar tak terurus, halaman kotor oleh daun yang rontok dari pohon belimbing besar di depan rumah. Pohon daun sirih yang menjadi kebanggaan mama mati karena pagar tempatnya tumbuh telah tercerabut. Saat saya membuka kunci rumah, saya hanya mendapati satu ruang kosong yang luas. Kosong. Hampa. Tanpa perabot apapun. Sementara papa mulai bekerja melepas untaian kabel di dapur, tanpa sadar saya bersandar di salah satu dinding dan mengelusnya perlahan. Dingin. Seakan rumah tersebut marah kepada kami. "Maaf...." bisik saya.
Setelah seluruh proses pindahan dan administrasi selesai, rumah itu akan dihancurkan dan diratakan dengan tanah. Pohon belimbing di halaman akan ditebang. Semua kenangan disana akan menguap dan hanya tinggal di dalam memori. Lagi-lagi saya marah dan sedih pada keadaan. Bagaimana bisa, rumah yang telah kami tempati selama ini harus dihancurkan dengan harga jual yang sangat rendah.
Saya paham perasaan mama.
Namun saya pun menganggap itu semua adalah 'harga' yang harus dibayar untuk rumah impian kami. Rumah yang selalu kami angankan dan inginkan. Sungguh sebuah harga yang teramat mahal.
Berpindah saya sadari adalah salah satu bagian yang paling sulit dalam fase hidup manusia. Pindah dari SD ke SMP, dari SMP ke SMU, dari SMU ke Perguruan Tinggi, dari Perguruan Tinggi ke lapangan pekerjaan, dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain, dari rumah lama ke rumah baru, dari teman lama ke teman baru. Karena dalam prosesnya, kita telah membuat jejak kepingan hati dan serpihan kenangan yang akan hilang dan tertinggal. Tapi bukankah kita harus terus melangkah maju jika yang 'lama' memang sudah dianggap tidak nyaman dan mengorbankan semua yang pernah kita miliki dengannya untuk menyongsong satu lembar kehidupan yang baru?
Selamat tahun baru 2015.
In memory of 'rumah lama'