Travelinglah Selagi Masih Muda. Sebelum Menyesal

You Can't Have Everything You Want

"Best time to visit (nama kota atau negara yang akan dikunjungi)" adalah keyword utama saya di mesin pencarian Google sebelum memutuskan membeli tiket pesawat. Timing memang memegang peranan utama ketika saya merencanakan sebuah perjalanan. 

Saya belajar dari pengalaman. Dulu, waktu saya menjadi seorang pejalan amatir, dengan percaya diri saya mengemas celana pendek, kaus, dan beberapa mini dress saat akan berangkat ke Macau. Tidak terbersit sedikitpun untuk mengecek cuaca di Macau di awal Desember sebelum berangkat. Hasilnya? Hujan rintik, angin kencang, dan suhu drop di bawah angka 20 derajat celcius menyambut begitu saya keluar pesawat. Mamam tuh dingin. Selama tiga hari liburan. Mana sama sekali nggak bawa baju hangat lagi. 

Semenjak kejadian 'liburan-sampai-hampir-mati-kedinginan-di-Macau' saya jadi riwil dengan masalah timing ketika akan berangkat ke Skandinavia. Tanya punya tanya, cuaca di Skandinavia itu moody minta ampun. Bahkan teman saya yang tinggal di Oslo bilang salju masih sesekali turun saat musim semi dan suhu bisa anjlok di bawah 10 derajat celcius. Yah, cuaca memang tidak bisa diakali, tapi waktu perjalanan bisa disiasati. Jadilah saya berangkat ke Skandinavia di awal bulan Juni. Masa ketika musim semi berakhir dan musim panas baru dimulai. Tapi itu pun saya tidak berharap banyak dengan matahari musim panas Skandinavia. Musim panas di Skandinavia termasuk musim panas abal-abal. Bagaimana bisa suhu 23 derajat celcius dikatakan panas untuk seseorang yang datang dari negara tropis. Pengennya sih menyambangi Skandinavia saat puncak musim panas dimana suhu menjadi lebih bersahabat dan sederet festival menunggu giliran tampil. Yang terpaksa menjadi angan-angan belaka saat mengingat membludaknya turis dari berbagai pelosok diikuti dengan naiknya harga penginapan ketika musim panas mencapai puncaknya. 

Tahun 2015 ini saya kembali dibayangi pertanyaan yang sama: best time to visit Japan. Pilihan saya jatuh pada musim gugur yang menjadi waktu terbaik kedua setelah musim semi. Walau tidak dapat melihat keindahan bunga sakura saat musim semi, musim gugur menawarkan warna-warni alam yang tidak kalah cantik. Masalahnya adalah, kemungkinan terjadinya topan yang mengawali datangnya musim gugur. Oktober akhirnya menjadi waktu pilihan dengan pertimbangan angin topan sudah mereda dan suhu belum terlalu dingin. Namun ternyata saya melewatkan satu poin penting disini. Warna-warni musim gugur baru akan mulai tampak di awal November! Mati-matian saya googling warna musim gugur di bulan Oktober dan yang terlihat hanya warna hijau blas. Tanpa ada warna kuning atau merah pepohonan khas musim gugur. Fix salah pilih waktu, sodara-sodara...

Togetsukyo Bridge in autumn 
Photo courtesy: Japan-guide.com

Sedih sih. Yang membuat musim gugur di Jepang itu menarik kan, warna-warni musim gugurnya. Dan bisa dipastikan warna-warni tersebut belum akan nampak saat saya kesana. Tapi saya ingat satu petuah bijak: you can't have everything you want. Mau lihat warna-warni musim gugur tapi nggak kuat dingin, ya nggak bisa. Saya harus memilih, dan untuk hal ini saya lebih memilih cuaca hangat. Mau jalan-jalan ke Eropa murah tapi nggak mau unyel-unyelan? Ya berangkat sewaktu musim semi baru berakhir dengan konsekuensi cuaca masih lumayan dingin. Kalau mau dapat semua ya harus siap-siap keluar budget lebih. As simple as that. You just can't have everything you want, darling.


Tulisan ini diikutsertakan dalam kompetisi yang diadakan di blog pergidulu.

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+

Related : You Can't Have Everything You Want