Soekarno Hatta International Airport, 21 februari 2015
Masih pagi di jakarta, suhu di daratan dilaporkan dua puluh delapan derajat celsius,masih cukup sejuk untuk ukuran kota besar Indonesia yang kaya akan polusi, kecepatan angin mampu membuat pesawat bergoyang ketika hampir menyentuhkan roda besar yang membuatnya melantai dan melaju kencang sebelum akhirnya berdiam dengan gagah di ujung landasan dan bertemankan lorong panjang bernama belalai gajah.
Perjalanan Jeddah - Jakarta selama 9 jam 23 menit ini sungguh memberikan saya sebuah pelajaran berharga, pelajaran yang membuka hati saya untuk belajar paling tidak bersimpati jika memang saya belum mampu berempati. Pelajaran yang membuat saya berpikir, apakah ini sudah pantas dan apakah benar ini yang harus saya lakukan?
Tidak ada yang terlalu berkesan dalam penerbangan ini,semua tampak sama dengan penerbangan penerbangan lainnya..penumpang yang penuh,wajah yang lelah dan saya yang mengantuk.
semua berubah ketika burung besar ini menjejakkan kaki nya di landasan pacu, bergulir cepat dan membuat semua yang ada di dalamnya nampak bergegas untuk bangkit meluruskan kaki dan mulai menurunkan semua barang bawaannya..
Wajah lelah namun bergembira, wajah penuh sukacita membayangkan banyaknya buah tangan untuk dibawa pulang.
namun tidak untuk seorang pria paruh baya yang istrinya tiba tiba limbung dan tidak sadarkan diri.
panik, ya kami semua panik.
khawatir dan bingung karena tidak tahu berbuat apa.
pundak pria yang merangkul tubuh wanita yang dicintainya itu mulai berguncang,berkali kali dipanggilnya nama sesosok tubuh yang kini tergeletak lemas di kursi depan pintu darurat.
semua orang hanya berlalu dan memandang sekilas.
beruntung ada seorang wanita yang berjalan memapah ibunya melihat apa yang terjadi dan langsung mengambil alih karena beliau adalah seorang dokter.
"CEPAT CARI DOKTER YANG PUNYA PERALATAN MEDIS" wajahnya memandang kami dengan serius sambil mengecek pergelangan nadi ibu paruh baya tadi.
dimintanya kami untuk meletakkan ibu yang tidak sadarkan diri tadi ke lantai dan mulai memacu jantungnya.
kami yang mulai panik meminta kejelasan dokter yang harusnya ada di bandara, tapi tidak, yang bersangkutan tidak ada di tempat.
apa karena ini hari sabtu?apa hari sabtu orang tidak boleh sakit?
Supervisor kabin pun sebelas dua belas,karena ingin cepat pulang, tidak diizinkannya kami membuka kotak dokter yang memang hanya boleh dipakai oleh kalangan medis. Alasannya? Urusan orang darat.
Bedakah kami?
Ini keadaan emergency..
ini darurat..
ini menyangkut nyawa orang lain.
Butuh waktu untuk kami melengkapi seluruh yang diperlukan, namun terlambat.
ibu tua itu telah menghembuskan nafas terakhirnya.
"Kemungkinan serangan jantung" begitu hujar ibu dokter yang menurut mamanya adalah seorang dokter anastesi.
Saya merasa bersalah,
Andai kami lebih cepat, apakah beliau akan selamat?
Akankah beliau berkumpul bersama keluarga?
Bukannya meninggalkan suami yang sekarang kebingungan dan tidak tau harus berbuat apa..
Rasa bersalah itu belum selesai sampai supervisor kami yang menurut saya tidak tahu diri meminta kami semua menginggalkan pesawat dan meninggalkan seorang lelaki renta yang terpukul dan sosok yang telah terbujur kaku di lantai dengan alasan sudah ada pegawai darat.
Entah hanya saya yang berlebihan atau mungkin saya yang terlalu perasa, namun perasaan saya hancur. Bagaimana mungkin saya tega meninggalkan beliau sendirian,ditengah kebingungan menunggu ketua rombongannya kembali ke pesawat dan menunggu anaknya yang telah menunggu dengan gembira diluar bandara untuk dapat izin ke atas pesawat ditambah mobil ambulans dan dokter bandara yang entah kemana.
Semua hanya atas nama kami sudah lelah..
Rass bersalah itu terus bergelayut, rasa menyesal itu terus ada.
pemikiran seandainya dan bagaimana jika terus berputar di otak..
andai saya berani untuk meminta peralatan medik lebih cepat
andai saya berani untuk menolak turun dari pesawat dan menemani beliau sampai jenasah itu masuk ke dalam ambulans
bagaimana jika yang tergolek tidak bernyawa adalah orang yang saya cintai dan diperlakukan seperti ini
Teruntuk ibu yang menghembuskan nafas terakhir dipesawat, semoga Allah memberikan ibu yang terbaik di alam sana, ini hadiah Allah atas ibadah khusyu ibu, semoga surga menjadi ganjarannya
teruntuk bapak yang ditinggalkan wanita tercinta, maafkan kami yang tidak menjaga kalian sampai kalian beranjak dari pesawat kami, semoga bapak jg memaafkan ucapan supervisor kami yang pasti menyayat hati jika bapak mendengar semuanya..
Teruntuk ibu dokter rombongan MQ tour travel pd GA 981 yang mau menyempatkan diri membantu kami hingga usaha terakhir, semoga allah membalas kebaikan ibu dan memberikan segala kemudahan bagi ibu di masa mendatang.
Teruntuk purser kami pada flight tersebut, andai anda mampu lebih berempati dan mengerti keadaan darurat mungkin ibu itu bisa tertolong
Pelajaran untuk diri saya sendiri : perlu lebih dari sekedar jam terbang tinggi dan waktu bekerja yang lama untuk bisa berempati, butuh kesadaran dan rasa kemanusiaan untuk mampu mengambil sikap dan mampu menunjukkan sikap seorang pemimpin.