Travelinglah Selagi Masih Muda. Sebelum Menyesal

Kincir Angin: Dulu dan Sekarang


Sebagian orang mungkin mengingat Belanda sebagai bangsa yang dulu pernah menjajah Indonesia (pelajaran sejarah tingkat SD masih melekat dengan sempurna ternyata). Tetapi, jika seseorang menyebutkan kata Belanda kepada saya maka yang muncul di kepala ini adalah sebuah imaji akan negeri cantik dan berbudaya, lengkap dengan ribuan kincir angin di segala penjuru, kanal-kanal yang membelah jalan kota, dilengkapi bunga tulip yang merekah (yep, sejak kecil saya memang sudah melankolis). Berbagai universitas dengan mutu kelas dunia yang berdomisili di Belanda semakin mengukuhkan negara ini sebagai negara yang tidak hanya kaya dari segi budaya, tapi juga cerdas di dunia pendidikan.
Ada alasan tersendiri mengapa Belanda identik dengan kincir angin. Dengan letak daratan di bawah permukaan laut maka saat itu Belanda hanya memiliki sedikit daratan kering. Air memang merupakan musuh utama Belanda. Untuk mengatasi hal ini, digunakanlah kincir angin yang dapat memompa air dari dataran rendah untuk kemudian disalurkan ke sungai atau kanal yang terletak di dataran lebih tinggi. Hasilnya? Masalah air tidak hanya teratasi, tapi Belanda juga berhasil memperluas wilayah negaranya melalui teknologi sederhana ini.

Penggunaan kincir angin terus berkembang sesuai dengan pertambahan kebutuhan penduduk. Tidak hanya untuk mengeringkan lahan, kincir juga digunakan untuk menggiling hasil panen, irigasi, menggergaji, mengasah kayu, memproduksi kertas, bahkan untuk mengeluarkan minyak dari biji. Perkembangan fungsi kincir ini tentu saja sangat membantu pekerjaan masyarakat, maka tak heran jika populasi kincir membludak mencapai angka 10.000 kincir pada saat itu.

Kincir angin tradisional. Gambar diambil dari sini.

Revormasi industri dengan penemuan mesin uap oleh James Watt mau tidak mau mempengaruhi perkembangan kincir angin di Belanda. Pengeringan lahan menjadi lebih cepat dengan teknologi ini. Penyaluran air menggunakan pemompa air bertenaga mesin uap juga semakin diminati masyarakat. Kincir angin semakin ditinggalkan dan beberapa berubah fungsi menjadi pabrik bermesin uap. Banyak kincir yang tidak berfungsi dan akhirnya dihancurkan sehingga hanya tersisa tidak lebih dari 2500 kincir di akhir abad ke-19.

Belanda, sebagai negara berbudaya yang menghargai sejarah negerinya, tentu saja tidak berdiam diri melihat kondisi tersebut. Beberapa warga yang tergabung dalam asosiasi preservasi kincir angin di tahun 1923 memperjuangkan kelestarian kincir angin dan di tahun 1997 kincir angin berhasil masuk dalam daftar benda bersejarah yang dilindungi Unesco. 

Barisan kincir di Kinderdijk

Walau kincir-kincir ini tidak lagi digunakan seperti masa jayanya dulu, namun mereka memiliki potensi wisata yang bernilai jual tinggi. Saat ini, hanya tersisa 1000 kincir angin di Belanda dan 19 diantaranya berada di Kinderdijk. Setiap tahunnya 90 ribuan wisatawan asing berkunjung ke Kinderdijk untuk menyaksikan kincir angin. Hal ini tentunya semakin mengukuhkan citra Belanda sebagai negeri kincir angin di mata dunia.

Krisis energi yang melanda dunia ternyata menjadi momentum kebangkitan kembali kincir angin. Seperti yang disadari bersama, sumber cadangan minyak dan gas dunia semakin menipis, belum lagi pemanasan global akibat efek emisi karbon membuat bumi ini semakin sekarat. Untuk mengatasi keadaan ini, dicarilah energi alternatif yang terbarukan dan ramah lingkungan. Bagi penduduk Belanda, jawaban akan krisis energi adalah memfungsikan kembali kincir-kincir angin mereka dengan teknologi yang lebih modern namun tetap ramah lingkungan.

Kincir angin modern tidak hanya memenuhi kebutuhan energi mekanis, tetapi telah menjadi sumber energi listrik. Berbeda dengan kincir tradisional, bentuk kincir modern hampir menyerupai sebatang sedotan yang dilengkapi tiga baling-baling baja dan generator untuk mengkonversi tenaga angin menjadi tenaga listrik. Jenis kincir modern ini disebut juga sebagai turbin angin.

Turbin angin

Saat ini, inovasi turbin angin terus berkembang menjadi ladang turbin angin lepas pantai. Wind farm lepas pantai dinilai lebih menguntungkan karena kecepatan angin rata-rata lebih tinggi dibanding ladang angin di daratan, tidak menyita lahan yang cukup luas di darat, dan masyarakat tidak perlu khawatir dengan polusi suara yang dapat ditimbulkan. Turbin angin kini menjadi teknologi yang paling cepat perkembangannya di dunia. Kapasitas instalasi global berkembang dari 2500 megawatt (MW) menjadi 40.000 MW. Hampir tiga perempat kapasitas instalasi energi angin kini berada di Eropa. Sekarang energi ini telah memenuhi kebutuhan listrik 35 juta rumah tangga Eropa.

Belanda memang menghadapi masalah berkepanjangan dengan air. Jika dulu air menggenangi 70% daratan Belanda, sekarang negara ini kesulitan untuk memenuhi kebutuhan air bersih. Di tahun 1850, angka kematian akibat penyakit yang disebabkan kurangnya ketersediaan air bersih (thypoid dan kolera) sangat tinggi. Seiring dibangunnya pengelolaan air bersih, angka kematian tersebut menurun. Hanya saja ketersediaan air tanah di Belanda tidak cukup untuk memebuhi kebutuhan seluruh masyarakatnya.

Beruntunglah Belanda memiliki universitas teknik ternama, TU Delft, yang menciptakan kincir untuk mendestilasi air laut menjadi air yang layak minum. Dengan rangkaian osmosis sederhana, ditambah bantuan angin dan listrik dari kincir, maka setiap rumah di Belanda dapat memasang sendiri kincir ini di halaman rumah mereka dan tidak perlu khawatir kekurangan pasokan air bersih.
 Konsep sederhana dari kincir angin untuk destilasi air laut TU Delft. Gambar diambil disini.

Belanda juga pasti bangga memiliki perusahaan sebrilian Dutch Rainmaker. Perusahaan ini memang mendedikasikan dirinya untuk mencari konsep baru untuk memproduksi air bersih. Baru-baru ini, Dutch Rainmaker membuat terobosan baru: kincir angin sebagai teknologi yang mengubah udara menjadi air minum. Disini turbin angin secara langsung menggerakkan sistem kompresor berpendingin. Udara yang masuk didinginkan di dalam sistem tersebut hingga air dalam udara terkondensasi. Air hasil kondensasi kemudian dikumpulkan dan dapat digunakan sebagai air minum. Udara selalu mengantung sejumlah air sehingga teknologi ini dapat digunakan di seluruh belahan dunia yang menghadapi kirisi air seperti yang dialami Belanda.


Bagaimana dengan Indonesia? Mungkin sedikit terlambat untuk mengadaptasi teknologi kincir angin sekarang. Di saat Belanda sudah berlari dengan turbin anginnya, kita masih merangkak menyusun rencana pembuatan kincir angin di sepanjang wilayah pantai Surabaya. Negara ini baru memikirkan sejumlah inovasi energi terbarukan ketika bumi makin sekarat. Selama ini kita memang terlena dengan sumber daya alam yang melimpah tanpa pernah memikirkan cara melestarikannya dan apa yang harus dilakukan ketika sumber daya tersebut habis. Tidak pernah terlintas pemikiran untuk menggunakan inovasi energi terbarukan sebagai tenaga cadangan di masa mendatang.

Indonesia bisa, sangat bisa untuk mengadaptasi teknologi kincir. Beberapa proposal dari daerah juga sudah dibuat dan dipublikasikan. Namun entah mengapa hanya sedikit yang terealisasi sisanya hanya berupa wacana. Satu contoh penggunaan teknologi kincir di Indonesia dapat dilihat di Desa Joho, Nganjuk, Jawa Timur. Air minum merupakan benda langka di desa ini, untuk mendapatkannya penduduk harus menuruni tebing sejauh 2 KM lebih. Desa Joho memang terletak di lereng pegunungan sementara sumber air cenderung berada di daratan yang lebih rendah. Awalnya air diperoleh menggunakan sumur bor, kemudian tenaga  angin yang tertangkap baling-baling kincir berfungsi untuk menggerakkan piston pengungkit pompa air. Air kemudian ditampung di hidran umum dan disalurkan ke masyarakat menggunakan pipa jaringan.

Memang teknologi yang digunakan masih sederhana, air yang diperoleh juga hanya dapat memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat Desa Joho. Tetapi, bukankah tujuan utama Belanda menggunakan Kincir adalah untuk mengeringkan lahan mereka, dan di kemudian hari kebutuhan tersebut bertambah disertai dengan pengembangan teknologi kincir angin. Mungkin langkah kecil yang dilakukan masyarakat Desa Joho dapat menginspirasi masyarakat lain dan pemerintah untuk terus mengembangkan teknologi ini. Tidak apa berjalan perlahan dan tertatih-tatih, yang penting kita tetap berupaya untuk mencari inovasi sumber energi untuk kelangsungan hidup bersama dan untuk menjaga kelestarian bumi ini.

Pustaka:

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+

Related : Kincir Angin: Dulu dan Sekarang