Travelinglah Selagi Masih Muda. Sebelum Menyesal

So They Called It a Lifestyle?

Saya benci rokok dan segala hal yang berhubungan dengannya, mulai dari asap rokok, abu rokok, bau rokok, dan orang yang merokok. Saya cukup strict dengan perokok apalagi jika mereka merokok di tempat umum. Saya tak segan untuk menegur walau akhirnya saya malah diomelin atau dicibir. Biarlah, yang penting saya sudah memperjuangkan hak untuk mendapatkan udara bersih dan menolak menjadi perokok pasif. Thanks God, lingkungan saya memang mendukung saya untuk berjauhan dengan benda yang satu ini. Anggota keluarga saya tidak ada yang merokok, begitu pula dengan teman-teman dekat.


Tidak aneh lagi jika kaum hawa ikut menikmati rokok, beberapa teman kuliah melakukannya walau dengan konsekuensi harus dicibir diam-diam oleh teman lain, apalagi kampus saya cukup ketat dengan peraturan merokok. Tapi di dunia kerja, semua serba berkebalikan, semua orang bebas untuk merokok tanpa melihat gender. Pertama kali saya mengalaminya saat makan siang dengan seorang teman, dengan santainya dia mengeluarkan rokok, menyalakan, menghisap, dan menghembuskan asapnya ke seluruh penjuru ruangan. Tebak kelanjutan dari cerita ini: dia menawarkan rokok tersebut kepada saya. Seumur hidup saya belum pernah ditawari orang lain untuk merokok. Dengan senyum dipaksakan saya menolaknya, dia seperti baru tersadar dan bertanya "Eh, lo ngerokok nga sih Ros?". Hebatnya lagi, saya tidak cukup bernyali untuk berkata dengan tegas "Tidak, saya tidak merokok!", saya hanya tersenyum semanis mungkin.

Saya pernah berkenalan dengan seorang single mother yang usianya terpaut 5 tahun di atas saya saat interview kerja, dia menawarkan tumpangan di mobilnya untuk pergi makan siang. Selagi kami mengobrol dia meminta izin (plus menawarkan) saya untuk merokok, lagi-lagi saya hanya bisa berkata "Lagi puasa ngerokok". After hour bersama teman kerja juga merupakan cobaan tersendiri untuk saya, mereka selalu memilih smoking area yang dari luar saja sudah terlihat putih karena terlalu banyak asap di dalamnya. Saya harus bersusah payah bernapas diantara kepulan asap plus menahan mata yang perihnya bukan main, tapi saya tetap bersandiwara seakan-akan itu adalah hal biasa dan saya tidak keberatan dengan hal tersebut.

Puncaknya adalah ketika saya dekat dengan seseorang. Dia perokok berat dan saya mentolerir semua kebiasaannya. Bahkan saya ingin menyelami lebih dalam dunia rokok. Ada rasa penasaran yang timbul dari diri ini, mengapa dia sangat mencintai rokok dan tidak dapat meninggalkannya barang sejenak.

Jujur, dengan lingkungan kerja yang baru ini, saya selalu tergelitik untuk mencoba merokok. Penasaran dengan sensasi merokok, dan yang paling parah saya mulai menganggap perempuan yang merokok itu keren. Ah Jakarta, kenapa saya harus melihat dan mengalami semua ini, sepertinya iman saya tidak cukup kuat untuk melawan semua godaan dunia hedonismu. Tidak hanya sekali atau dua kali saya meminta rokok saat bersama dengan teman yang sedang merokok, tapi tak pernah memiliki cukup keberanian untuk mencobanya.

Feeling cool with the cigar Rob?

Kenapa seseorang harus mengorbankan nyawanya dengan sebuah benda bernama rokok. Tidak ada untungnya bermain-main dengan benda yang satu ini. Itulah pemikiran saya yang dahulu dan membuat saya sedemikian benci dengan rokok. Namun, lingkungan yang sekarang membuat saya tidak berdaya. Saya tidak lagi mampu dan berani untuk menegur orang yang merokok di depan saya. Saya takut jika teman-teman mengetahui bahwa saya bukan seorang perokok maka mereka akan meninggalkan saya. Rasanya seperti kehilangan jati diri. 

Rokok dipandang sebagai bagian dari gaya hidup untuk dapat diterima dalam sebuah lingkungan.

So they called it a lifestyle?

So I called it a lifestyle?

Bukan, itu bukan lifestyle. Itu adalah jalan pintas untuk melupakan semua masalahmu, jalan pintas untuk terlihat keren di mata teman-temanmu, dan jalan pintas menuju kematianmu sendiri. Saya sempat tersesat dan mengatakan rokok sebagai bagian dari gaya hidup, juga ingin menjadi bagian dari gaya hidup tersebut. Namun, apalah gunanya disebut keren jika harus mengorbankan diri sendiri? Tak apa mereka menyebut saya kuno, tapi saya bangga dengan diri sendiri yang sampai saat ini belum pernah mencemari jantung dan paru-paru sendiri dengan rokok.

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : So They Called It a Lifestyle?