Travelinglah Selagi Masih Muda. Sebelum Menyesal

Film (dari, untuk, dan oleh) Perempuan

Apa yang langsung terlintas di kepala kalian kalau saya menyebut kata 'gender'? Topik yang berat? Tidak menarik? Membosankan? Bukan urusan gue? Atau mungkin tidak setuju dengan pemahaman kesetaraan gender yang sekarang mulai gencar disuarakan. Jika sebagian dari kalian berpikir seperti itu, saya harap kalian bisa bertahan membaca tulisan ini sampai selesai :)

Apa sih gender itu? Beberapa orang masih menganggap gender adalah jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Tidak, cakupan gender jauh lebih besar dari sekedar perbedaan jenis kelamin. Gender adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial dan budaya, bukan karena kodrat semata.

Laki-laki dan perempuan berbeda secara biologis, seperti perbedaan alat kelamin. Perbedaan seperti ini tidak dapat dipertukarkan dan bersifat kodrati. Kita tidak bisa memilih akan dilahirkan jadi anak perempuan atau laki-laki. Tetapi sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan ditentukan oleh lingkungannya. Perempuan diharapkan lemah lembut, penuh kasih sayang, simpatik, karena suatu saat dia akan menjadi seorang ibu. Laki-laki dianggap kuat, rasional, perkasa, karena nanti dia yang akan menjadi pemimpin dalam rumah tangga. Pada dasarnya, perbedaan sifat ini dapat dipertukarkan, ada perempuan yang bekerja untuk menghidupi keluarganya, dan ada laki-laki yang emosional, penuh kasih sayang dalam merawat anak-anaknya.

Perbedaan gender tidak akan menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender, namun pada kenyataannya perbedaan gender telah melahirkan berbagai tindak ketidakadilan. Secara tidak disadari, ketidakadilan ini telah tersosialisasi dalam kehidupan sehingga lambat laun laki-laki dan perempuan percaya bahwa peran gender itu seolah-olah merupakan kodrat. Akhirnya tercipta suatu struktur ketidakadilan gender yang 'diterima' dan sudah tidak dapat lagi dirasakan ada sesuatu yang tidak benar. Beberapa bentuk ketidakadilan yang sering ditemui di masyarakat adalah:
1. Subordinasi, berkaitan dengan pengendalian kekuasaan atau proses pengambilan keputusan dimana perempuan didudukkan pada posisi lebih rendah dari kaum laki-laki.
2. Stereotipe. Dalam masyarakat terdapat banyak stereotipe (pelabelan negatif) yang dilekatkan pada perempuan dan berakibat membatasi, menyulitkan, memiskinkan dan merugikan perempuan. Misal stereotipe perempuan sebagai ibu rumah tangga menyulitkan mereka untuk aktif di sektor publik (bekerja, berpolitik, berbisnis) karena dianggap bertentangan dengan kodrat.
3. Marjinalisasi merupakan bentuk pemiskinan ekonomi terhadap kaum perempuan. Hal ini dapat terlihat dari ketimpangan upah yang didapat antara perempuan dan laki-laki serta pemisahan sektor pekerjaan dimana sektor pekerjaan perempuan terpusat di bidang yang dianggap feminim seperti guru, perawat, atau sekretaris.
4. Beban kerja. Peran gender perempuan yang paling melekat kuat adalah sebagai pengelola rumah tangga. Terkadang perempuan di lapisan miskin terpaksa berperan mencari nafkah pula sehingga beban kerjanya menjadi dua kali lipat. "Pekerjaan perempuan" di bidang domestik (rumah tangga) dianggap dan dinilai lebih rendah dibanding dengan jenis "pekerjaan laki-laki" serta dikategorikan bukan produktif.
Sejak dini perempuan sudah disosialisasikan untuk menekuni peran gender mereka sebagai pengelola rumah tangga, sedang pihak laki-laki tidak diwajibkan secara kultural untuk menekuni jenis pekerjaan domestik tersebut.
5. Kekerasan adalah serangan atau invasi secara fisik maupun mental psikologis seseorang. Bentuknya seperti pemerkosaan, pemukulan, sampai kepada bentuk yang lebih halus seperti pelecehan seksual. Percaya atau tidak, hal ini pun disebabkan pencitraan gender bahwa perempuan harus serba hati-hati, tidak boleh melawan, menjaga sikap dan tingkah lakunya, sehingga kaum perempuan lemah secara fisik dan mental. Kelemahan ini tidak menjadi masalah kalau saja tidak memicu pihak lain untuk berkuasa atau memperlakukan perempuan seenaknya.

Banyak sekali isu ketidakadilan gender yang berkembang di masyarakat. Hanya saya kita tidak menyadarinya, atau mengkin terlalu antipati untuk menelaah lebih jauh. Saya yakin, beberapa diantara kalian mungkin sudah pusing dan bosan membaca penjelasan gender barusan. Ada juga yang merasa kalau bentuk ketidakadilan yang saya jabarkan tadi terlalu berlebihan, 'toh memang sudah kodratnya perempuan'. Atau mungkin ada yang berpendapat bahwa laki-laki adalah pemimpin dan memiliki derajat lebih tinggi menurut agama.

Saya hanya mencoba berkata, bukalah mata kalian lebih lebar kepada isu ketidakadilan gender ini. Saya tidak mencoba memprovokasi agar kalian menuntut hak gender masing-masing, saya hanya ingin orang lain lebih aware dan peduli dengan isu gender. Paling tidak, dengan mengetahuinya saya tidak akan membiarkan bentuk ketidakadilan gender terjadi pada diri saya. Lebih jauh lagi, saya ingin membagi konsep ini agar orang lain tidak perlu mengalaminya. Saya bukan feminis radikal yang berdemo kesana kemari memperjuangkan hak perempuan, sekali lagi saya sebutkan, saya hanya ingin orang lain mengerti konsep gender secara benar, dengan demikian mereka dapat memperjuangkan haknya di masyarakat.

Tak terhitung berapa banyak text book yang membahas isu gender, tetapi lagi-lagi buku ini kurang diminati, mungkin karena topiknya terlalu berat atau terlalu sensitif untuk dibahas. Beberapa sineas Indonesia mengubah cara penyampaian topik gender dan secara cerdas membungkus tema ini dalam bentuk film. Tujuannya sama, agar perempuan lebih peduli dengan isu gender yang terjadi di masyarakat. Sejauh ini, ada dua film Indonesia yang khusus mengangkat tema gender. Pertaruhan dan Perempuan Punya Cerita.

Pertaruhan (At Stake)
Pertaruhan adalah sebuah film dokumenter produksi Kalyana Shira Films yang berisi 4 film pendek. Karena dikemas secara dokumenter, maka beberapa bagian terasa datar dan membosankan. Pertaruhan tidak dibuat dengan tujuan komersial, tapi untuk bercerita tentang perempuan dan kontroversi tentang tubuh perempuan. Melalui cerita dalam Pertaruhan, dapat dilihat bahwa perempuan tidak dapat memutuskan sendiri apa yang terbaik bagi dirinya, bagi tubuhnya, karena semua itu diatur oleh norma dan stereotipe masyarakat.


Film 1: Mengusahakan Cinta.
Bersetting Hongkong karena mengangkat dua kisah cinta TKI. Rian yang lesbian tidak takut untuk menunjukkan jati dirinya yang sebenarnya disana, tapi ciut untuk membawa cerita cintanya ke Indonesia. Sedang Ruwati yang harus menjalani operasi rahim melalui lubang vagina menyebabkan calon suaminya tidak percaya lagi kalau Ruwati masih perawan.
Merry's thought: Sedemikian pentingkah arti keperawanan dibanding keselamatan jiwa orang yang disayangi. Beban mental Ruwati sendiri sudah cukup berat menghadapi penyakitnya, tidak perlu ditambah dengan pandangan sinis calon suami Ruwati akan arti keperawanan.

Film 2: Untuk Apa???
Bercerita tentang sunat perempuan yang dipercaya dapat mengurangi nafsu liar perempuan dalam seks. Tidak ada dalil yang cukup kuat untuk menjalankan ritual ini, bahkan isu ini juga diperdebatkan di kalangan ulama. Dari segi kesehatan pun tidak ada gunanya perempuan melakukan sunat. Pelaksaan sunat ini sendiri tidak jarang menimbulkan trauma bagi orang yang mengalaminya.
Merry's thought: "Sunat dilakukan agar perempuan dapat memuaskan suaminya", kurang lebih demikian perkataan salah seorang ulama dalam film ini. Apakah kodrat perempuan hanya sebatas untuk memuaskan nafsu laki-laki? 

Film 3: Nona Nyonya.
Sepertinya hanya perempuan hamil dan telah menikah saja yang bisa ke ginekolog. Bagaimana dengan perempuan single yang ingin memeriksakan kesehatan organ reproduksinya. Beberapa perempuan yang hendak melakukan tes paps meer untuk menghindari ancaman kanker leher rahim malah ditanya macam-macam oleh dokter bersangkutan. Apakah dia sudah menikah? Sudah berhubungan seks? Dan tidak jarang dokter menolak melakukan tes ini kepada perempuan lajang, alasannya tes papsmeer dapat menyebabkan robeknya selaput dara.
Merry's thought: Saya gemas sekali menonton film ini. Apakah saya harus menjadi seorang Nyonya dulu sehingga saya baru dapat melakukan papsmeer. Kanker leher rahim merupakan pembunuh wanita nomor satu, sudah atau belum menikah, pernah atau belum pernah berhubungan seks. Lagi-lagi, status sebagai perawan lebih dipentingkan dan selaput dara terlalu diagung-agungkan.

Film 4: Ragat'e Anak.
Menceritakan single mother yang bekerja sebagai pemecah batu di siang hari, dan alih profesi di malam hari menjadi PSK di kuburan Tionghoa. Ironisnya, bayaran mereka sebagai PSK yang tidak seberapa harus dipotong dengan 'retribusi' pada preman setempat. 
Merry's thought: Persoalan ekonomi yang seringkali membuat perempuan tidak memiliki pilihan lain dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Perempuan Punya Cerita (Chants of Lotus)
Dibuat oleh empat sutradara, terdiri dari empat cerita, di empat tempat yang berbeda.


Cerita Pulau.
Sumantri adalah satu-satunya bidan di salah satu pulau di Kepulauan Seribu. Disana, Sumantri dekat dengan Wulan yang mengalami keterbelakangan mental. Suatu ketika Wulan diperkosa, Sumantri melaporkan kasus tersebut ke polisi dan bersedia menjadi saksi. Namun karena Sumantri pernah melakukan aborsi (yang bertujuan untuk menyelamatkan sang Ibu), maka laporan Sumantri tidak dipercaya. Penduduk desa menganggap aborsi adalah dosa, apapun alasan dibalik tindakan aborsi tersebut. Sumantri terjebak diantara dua pilihan saat mengetahui Wulan mengandung: kembali melakukan aborsi, atau membiarkan Wulan melahirkan seorang bayi yang kelak pasti tidak akan terurus.

Cerita Yogyakarta.
Mengangkat cerita kehidupan seks bebas anak SMU Yogyakarta. Sudah tidak asing lagi kalau anak SMU pernah melakukan hubungan seks ataupun aborsi. Jay, seorang wartawan Jakarta mencoba menyelami fenomena ini dengan menyamar menjadi mahasiswa dan mendekati beberapa anak SMU. Siapa sangka, Jay malah menjalin hubungan asmara dengan Safina, subjek penelitiannya.

Cerita Cibinong.
Esi berjuang hidup untuk anak semata wayangnya Maesaroh. Esi tidak pernah menyangka, Narto yang dipercaya untuk menjaga anaknya selama dia bekerja ternyata malah melecehkan Maesaroh. Esi pun mencari perlindungan kepada Cici sahabatnya. Masalah tidak berhenti sampai disini karena Kang Mansur yang dekat dengan Cici mengincar Maesaroh untuk dijual dalam sindikat perdagangan manusia (human traficking).

Cerita Jakarta.
Adegan dibuka dengan kematian Reno yang overdosis di toilet diskotik. Reno hanya mewariskan tumpukan hutang dan virus HIV untuk istrinya, Laksmi. Mertua Laksmi menganggap Laksmi lah yang menularkan virus HIV kepada Reno dan mereka berjuang untuk merebut Belinda, cucu mereka satu-satunya dari tangan Laksmi. Untuk mempertahankan Belinda, Laksmi harus hidup berpindah-pindah mengelilingi Jakarta. Laksmi mencoba bertahan, tapi dia sadar dengan kondisi fisiknya yang semakin lemah dan keuangan yang semakin menipis tidak mungkin untuk mempertahankan Belinda.

Kira-kira apa komentar kalian untuk cerita-cerita dalam film tersebut? Klise? Biasa saja? Bukan hal yang baru? Tidak aneh lagi? Tapi bayangkan kalau hal tersebut terjadi pada diri kalian atau orang yang kalian sayangi. Ambilah pemahaman gender agar kita tidak perlu mengalami bentuk ketidakadilannya, supaya orang lain dapat menghindarinya. Tidak perlu merasa alergi dengan kata gender, karena mau tidak mau, suka tidak suka, hal ini akan selalu kita temui di masyarakat.

Beberapa teori yang saya gunakan dalam tulisan ini diambil dari modul mata kuliah Gender dan Pembangunan, Jurusan Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian IPB, 2003.

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Film (dari, untuk, dan oleh) Perempuan