Travelinglah Selagi Masih Muda. Sebelum Menyesal

Being a Commuter

Beberapa waktu kemarin, masalah kemacetan Jakarta menjadi headline di berbagai media cetak dan elektronik. Metro TV memperkirakan tahun 2015 Jakarta akan macet total. Total dalam artian tidak akan ada lagi kendaraan yang bisa bergerak karena pertumbuhan luas jalan Jakarta hanya 0,01 persen per tahun, sedangkan pertumbuhan pengguna mobil mencapai 10 persen per tahun, dan motor hingga 15 persen per tahun.

Tenang, saya tidak akan membahas peningkatan penggunaan mobil atau motor pribadi, juga tidak menyinggung banyaknya mall yang dibangun sehingga lahan hijau banyak dibabat dan rencana pelebaran jalan raya harus dikorbankan. Sepertinya semua orang sudah cukup lelah dan sumpek dengan fakta tersebut. Saya ingin membagi pengalaman tentang komuter yang harus menaklukkan kemacetan Jakarta setiap harinya.

Menurut Wikipedia, komuter adalah seseorang yang bepergian ke suatu kota untuk bekerja dan kembali ke kota tempat tinggalnya setiap hari. Dalam bahasa Jawa istilah komuter tenar dengan nama 'penglaju'. Komuter Jakarta kebanyakan berdomisili di daerah Bogor, Tangerang, Depok, dan Bekasi. Setiap hari mereka menempuh jarak puluhan atau ratusan kilometer ke tempat kerja, untuk kemudian pulang ke tempat tinggal masing-masing. Pilihan ini diambil karena Ibukota seringkali tidak menyediakan tempat tinggal yang cukup nyaman, aman, dan terjangkau untuk ditinggali. Tingginya biaya hidup di Ibukota juga merupakan suatu kendala.

Saya adalah seorang komuter. Rumah di kabupaten Bogor dan kantor di Jakarta Pusat. Di hari kerja, saya harus bangun jam 04.30 dan berangkat kerja jam 05.35. Pulang kantor sekitar jam 18.15 dan tiba di rumah jam 20.30. Pergi subuh, pulang larut malam. Jarak rumah - kantor yang jauh membuat saya harus menghabiskan banyak waktu di jalan. Total waktu yang diperlukan untuk perjalanan setiap harinya adalah 5 jam dalam kondisi 'normal', tapi jika macet sudah demikian parah maka lebih banyak lagi waktu yang akan terbuang. Sejauh ini rekornya adalah 8 jam.

Kemacetan Jakarta sudah merupakan 'santapan' sehari-hari bagi komuter. Kami sudah ada pada titik tidak bisa mengeluh dan hanya bisa pasrah menerima keadaan. Entah apa lagi yang harus dilakukan agar kemacetan ini bisa berkurang. Rencana pemerintah hanya jalan di tempat sementara kami harus berangkat kerja setiap hari. Beberapa orang yang baru kenal saya pasti kagum, 'Rumahnya jauh banget, nggak cape tuh?'. Cape sudah tidak ada dalam kamus saya. Untungnya kata 'gampang sakit' juga ikut menghilang dari badan saya.

Menjadi komuter yang menghabiskan banyak waktu di jalan membuat saya harus kreatif mencari cara untuk mengusir rasa bosan. Pilihannya adalah membaca buku, mengobrol dengan teman perjalanan, mendengarkan musik, atau tidur. Tentu saja saya lebih memilih untuk tidur. Durasi perjalanan dan pekerjaan di kantor membuat jam tidur saya banyak berkurang. Benda wajib yang harus selalu ada di dalam tas saya adalah earphone, ampuh untuk menyampaikan pesan 'Saya tidak ingin diganggu' atau 'Saya tidak ingin mengobrol' kepada orang yang duduk di bangku sebelah, juga merupakan cara halus untuk menolak memberi recehan kepada pengamen.

Penggangu utama yang selalu hadir dalam perjalanan seorang komuter tentu saja pengamen. Bukannya saya sinis terhadap pengamen, tapi siapa yang tidak jengah jika dalam sehari harus bertemu minimal 5 pengamen dengan suara pas-pasan, nyanyi nyaris berteriak-teriak, lagu tidak jelas, dan paksaan untuk memberi uang dengan kalimat 'Memberi uang seribu atau dua ribu rupiah tidak akan membuat Anda miskin'. Yang paling menyebalkan adalah sebagian besar pendapatan harian pengamen digunakan untuk membeli rokok. Sekali lagi, tidak bermaksud sinis, hanya saja penghasilan bulanan saya tidak cukup besar untuk menanggung biaya kesehatan di hari tua jika saya terkena kanker atau penyakit jantung, oleh karena itu sebisa mungkin saya menghindari rokok. Jadi, saya menganggap para pengamen yang menghabiskan pendapatannya untuk merokok, sudah cukup mampu untuk menanggung biaya hidupnya sendiri.

Selain masalah kemacetan, masalah klasik lain yang harus dihadapi komuter adalah transportasi umum. Bukan rahasia lagi kalau angkutan umum Jakarta kebanyakan sudah tidak layak jalan, belum lagi supir yang ugal-ugalan dan brutal saat menyetir. Setiap hari, sebelum naik kendaraan seperti ini, saya selalu berdoa, 'Tuhan, lindungi saya. Semoga tidak ada hal yang buruk saat saya menaiki kendaraan ini'. Kondisi kendaraan buruk ditambah supir ugal-ugalan selalu membuat saya parno dengan keselamatan diri sendiri. 

Banyaknya jumlah pekerja Jakarta tidak berkorelasi positif dengan jumlah tempat duduk di angkutan umum. Saya yang menempuh jarak paling jauh tentu tidak mau berdiri sepanjang perjalanan. Untuk urusan rebutan tempat duduk, setiap orang mendahulukan kepentingan pribadi, jangankan istilah ladies first, ibu hamil saja sering tidak dapat tempat duduk dan tidak ada satu orang pun yang sudi memberikan tempat duduknya. 

Masalah langkanya tempat duduk ini membuat penumpang dan supir menjadi kreatif. Mesin bus yang terletak di samping supir diberi alas berupa karpet atau busa sehingga dapat ditempati, hanya saja harus tahan panas untuk bisa duduk disini. Dashboard bus yang lumayan luas juga jadi pilihan halal sebagai tempat duduk alternatif. Untuk yang terakhir ini sih tantangannya beda, punggung nempel dengan kaca depan dan pintu bus terbuka lebar di salah satu bagian. Dengan supir yang ugal-ugalan, kondisi yang paling apes adalah sebagai berikut: 1. Bus menabrak kendaraan di depannya, otomatis kaca akan pecah berhamburan menusuk seluruh bagian punggung, atau 2. Terbanting ke arah pintu yang terbuka dan terjun bebas ke jalan raya. 

Banyaknya komuter yang senasib sependeritaan dan selalu bertemu di transportasi umum yang sama, memungkinkan mereka untuk saling flirting. Sayangnya, flirting yang berujung pada love stuck ataupun love sucks sama-sama tidak mengenakkan. Love stuck: siapa yang tahu kalau ternyata dia sudah memiliki pacar, istri, atau mungkin..... anak. Love sucks: ini akan membuat sebagian besar komuter harus merubah rute perjalanannya demi menghindar dari orang yang bersangkutan. 

Lalu, kenapa saya tidak memilih untuk kost saja? Karena saya memiliki orangtua yang selalu menunggu kepulangan saya. Melihat senyum mama dan papa yang lega karena anaknya selamat sampai di rumah  adalah obat paling manjur untuk menghilangkan keletihan setelah bekerja seharian.

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Being a Commuter