Travelinglah Selagi Masih Muda. Sebelum Menyesal

Cerita Si Uang Baru


Selain silaturahmi, maaf-maafan, baju baru, ketupat, rendang, opor ayam (nyam!), hal lain yang identik dari Lebaran adalah salam tempel. Lebih bagus lagi kalau uang yang digunakan masih kaku tanpa lecek. Apalagi tahun kemarin saat pecahan Rp2000 baru keluar, wih rasanya jadi orang paling keren kalau bisa bagi-bagi angpau dengan uang baru dan pecahannya belum banyak tersebar di Indonesia. Sepupu-sepupu saya yang ada di Bengkulu saja sampe terkagum-kagum liat pecahan Rp2000 itu, otomatis mereka lebih bangga memamerkannya ke teman-teman yang tidak memiliki uang serupa.

Menjelang Lebaran, apalagi saat THR sudah dibagikan, transaksi perbankan jadi meningkat. Kebanyakan orang datang ke bank untuk menukar uang yang dimiliki dengan uang baru dalam berbagai denom kecil. Banking hall secara otomatis jadi beraroma uang baru yang selalu sukses membuat saya bersin-bersin (debu hasil serpihan potongan kertas dalam uang baru itu jahat banget). Bank Indonesia sendiri selalu stock uang baru saat menjelang Lebaran, Natal, dan Tahun Baru Cina. Yah, kasus uang baru ini seringkali terlihat 'lucu' dari mata saya sebagai teller.

Bank Vs Inang-Inang
Percaya atau tidak, stock uang baru yang dimiliki bank jauh lebih sedikit dari yang dimiliki oleh inang-inang (orang-orang yang bergerak dalam bisnis penukaran uang kecil, dapat banyak ditemui di berbagai titik strategis seperti di jalan protokol, terminal, stasiun). Saat head teller harus adu urat leher dengan vendor untuk mendapat pecahan uang baru sebanyak mungkin, inang-inang dengan santainya menumpuk semua pecahan uang yang mereka miliki di jalan raya. Tumpukan yang mereka pamerkan jauh lebih banyak daripada yang ada di khasanah (ruang penyimpanan uang) bank. Saat kami harus putar otak agar semua nasabah mendapat jatah uang baru secara adil merata, dengan santainya inang-inang menjual uang baru tersebut tanpa takut kehabisan stock. 

Berasa sedikit miris sih, masyarakat harus 'membayar' untuk mendapatkan uang baru dari inang-inang, sedangkan bank yang dapat memberi penukaran uang secara fair malah tidak mendapat stock uang yang cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Uang dijual? Terdengar aneh dan janggal di telinga saya.

Berapa banyak?
Berapa banyak sih uang yang dibutuhkan untuk salam tempel? Saya pribadi tidak suka memiliki uang kecil terlalu banyak, ribet untuk menghitung, membayar, dan memperkirakan berapa jumlah total uang tunai yang dimiliki. Seringkali dompet saya hanya berisi selembar uang Rp100.000, saya lebih suka membayar transaksi dengan kartu debit/kredit. Praktis, cepat, plus tidak membutuhkan kembalian.

Seringkali, uang yang dialokasikan untuk salam tempel tidak habis dan mau tidak mau harus dibelanjakan oleh saya sendiri. Ini mendatangkan masalah baru lagi, saya sayang membelanjakan uang yang masih kaku tersebut, akhirnya malah mengambil uang tunai dan uang baru tersebut nangkring di dompet untuk waktu lumayan lama. Belajar dari pengalaman, akhir-akhir ini saya tidak terlalau bernafsu untuk menukar uang baru. Secukupnya saja.


Berbeda dengan teman-teman lain. Kalau dijumlahkan, satu ruangan saya yang berjumlah 23 orang saja membutuhkan uang baru berbagai denom dengan total Rp. 60juta. Hebat bukan. Seorang teman sampai menukarkan bertumpuk-tumpuk uang baru. Seorang lain yang tidak merayakan Lebaran malah lebih ribet dibanding yang merayakan, lebih ngotot untuk mendapat uang baru sebanyak mungkin. Dan pertanyaan saya adalah, untuk apa uang sebanyak itu? Apa iya untuk salam tempel semua?

Arogansi Uang Baru
Akhirnya pertanyaan saya tentang banyaknya uang yang ditukarkan di atas terjawab. Seorang teman kekeuh banget menukarkan pecahan Rp10.000, alasannya 'Ini untuk jatah beli bensin suami gue. Setiap hari 2 lembar sepuluhribuan'. Oooohh... untuk beli bensin pun butuh uang baru ternyata. Hampir semua jawaban yang diberikan masuk dalam kategori tidak memuaskan dan tidak masuk akal, yang dalam pemikiran akal sehat saya, transaksi seperti itu masih bisa dilakukan dengan uang 'biasa'.

Menjadi seseorang yang bekerja di industri perbankan ternyata terkadang menimbulkan arogansi terhadap 'wujud' uang. Beberapa rekan kerja, dengan posisi lebih tinggi dari saya tentunya, setiap hari selalu menanyakan stock uang baru, saat saya bilang 'Ngga ada uang baru mba, adanya uang layak pakai. Emang kenapa sih musti uang baru?', dijawab dengan lempeng dot com 'Abis kalo uang mbusuk nanti dompet gue jadi bau'. Jeda cukup panjang diantara kami berdua. Untuk kemudian saya termangu, speechless sejadi-jadinya. Wow, harga dompetnya pasti mahal banget.

Berbeda dengan beberapa atasan, setiap transaksi harus dikembalikan dengan uang baru, tidak boleh ada lipatan sedikitpun, sampai head teller harus membuka stock uang baru yang ada demi memenuhi tuntutan si atasan. Waktu itu saya masih anak baru, dengan polos saya memberi uang layak pakai untuk transaksi penarikan si atasan, dengan arogannya sang atasan berkata 'Masa saya dikasih uang buluk. Saya ngga pernah mau pake uang buluk. Saya cuma mau uang baru' dengan nada sedikit sinis dan membentak. Wow, saya sampai shock. Ternyata yang penting bagi para atasan bukanlah nominal yang dimiliki, tetapi lebih kepada wujud uang tersebut. FYI, uangnya layak pakai banget, bukan uang buluk.

Untuk saya, fungsi uang adalah sebagai alat pembayaran. Tak peduli uang tersebut baru atau tidak, yang penting asli dan dapat digunakan. Miris melihat beberapa teman yang segitunya sama uang baru, ngomel-ngomel kalau di ATM khusus karyawan yang menyediakan pecahan kecil tidak diisi dengan uang baru. Toh uang yang ada juga pasti akan digunakan kan, jadi kenapa sampai segitunya sih sama uang baru?

Beberapa nasabah memiliki cerita berbeda. Setiap hari saya sudah kenyang dengan pertanyaan 'Ada uang baru ngga' dan menjawab 'Uang barunya lagi kosong, adanya uang layak pakai'. Kemudian nasabah tersebut berkata, 'Kok ngga ada terus sih uang barunya, suruh BI cetak lagi dong yang baru'.

Tahukah Anda nasabah yang terhormat dan teman-teman tersayang, dengan banyaknya uang yang beredar di masyarakat (baik uang lama maupun baru) maka tingkat inflasi Indonesia akan semakin tinggi. BI tidak bisa mencetak uang baru sekehendak hati. Saat akan mencetak yang baru maka uang yang sudah tidak layak pakai atau mbusuk akan ditarik dari peredaran untuk kemudian dihancurkan. Ini ditujukan agar sirkulasi uang yang beredar di masyarakat bisa tetap dijaga. 

Dan tahukah Anda, untuk mencetak uang baru, dibutuhkan dana yang tidak sedikit. Sekarang saya tanya, apakah Anda sudah menjaga fisik uang sebaik mungkin? Berapa sering Anda melipat atau mungkin meremas uang yang baru karena tidak rela uang tersebut berpindah tangan? Berapa lembar uang yang pernah Anda corat-coret? Berapa tumpuk uang yang secara tidak sengaja ikut tercuci atau terendam air hujan? Padahal dengan menjaga fisik uang, uang tersebut bisa digunakan lebih lama sehingga BI dapat mengurangi kuantitas uang yang harus dihancurkan.

Lebih ngenes lagi mengingat perlakuan yang sama sekali berbeda terhadap mata uang asing. Hampir semua orang mengecek lembar demi lembar untuk memastikan tidak ada lipatan atau coretan karena nilai dari mata uang tersebut dapat berkurang. Mata uang asing juga disimpan secara hari-hati dalam amplop tebal, brankas, ataupun safe deposit box. Jadi jangan heran, berapa pun tahun pencetakan mata uang asing, dapat dipastikan kalau uang tersebut masih licin tanpa cacat sedikitpun.

Ah Rupiah... nasibmu.

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Cerita Si Uang Baru