Travelinglah Selagi Masih Muda. Sebelum Menyesal

Sepenggal Kenangan Masa Kuliah

Saya masih semester 2 dan bersiap menghadapi UAS. Beberapa nilai UTS baru dibagikan seminggu menjelang UAS, tidak terlalu memuaskan sih tapi saya tidak terlalu memusingkannya. Toh masih bisa mengejar nilai saat UAS kan. Reaksi yang sama sekali berbeda muncul hasil ujian Fisika keluar, nilai saya berada di kisaran D! Butuh poin yang cukup besar agar bisa lulus mata kuliah ini. 'Mati gue!!!', cuma itu yang terlintas di kepala.

Kampus saya mengharuskan mahasiswa tingkat awal untuk tinggal di asrama. Selama satu tahun penuh kami tinggal dalam kamar kecil berisi empat orang, beradaptasi dengan dunia perkuliahan dan mengulang semua pelajaran dasar di bangku SMU. Mungkin karena baru kali ini tinggal berjauhan dari orangtua maka beberapa anak termasuk saya tidak terlalu peduli dengan urusan akademis. Lagipula kami hanya mengulang pelajaran masa SMU, apa sih sulitnya? Masa awal kuliah lebih banyak dihabiskan dengan bermain dan keluar hingga larut malam. Kami lebih memilih untuk bersenang-senang daripada belajar. Selain itu kondisi asrama juga kurang kondusif untuk belajar. Empat orang dalam satu kamar dengan gaya belajar yang berbeda-beda? Sulit.

Nilai saya tergolong pas-pasan saat semester 1 berlalu. Lagi-lagi saya tidak terlalu memperdulikannya. Saya lulus walau pas-pasan. Lalu kenapa? Yang penting lulus. Dan saya kembali menikmati masa-masa indah di bangku kuliah dan asrama. Sejelek apapun hasil UTS saya pasti bisa memperbaikinya di UAS. Tapi saya tidak berkutik sama sekali saat berhadapan dengan Fisika. I'm sucks in physics. Saya dan Fisika memang tidak pernah akur. Saya sudah membenci Fisika saat pertama kali berkenalan dengannya di bangku SMP. Sekarang dia muncul lagi dalam hidup saya, membayang-bayangi masa awal perkuliahan saya, berjanji akan merusak semua kebahagiaan yang saya dapat di bangku kuliah. Nilai Fisika saya kecil, sangat kecil. Saya harus mendapat nilai minimal B saat UAS agar dapat lulus dan terlepas dari mata kuliah ini. Dan itu sangat tidak mungkin. Saya tahu itu tidak mungkin.

Saya panik. Seumur hidup saya belum pernah gagal di bidang akademis. Nilai saya tidak pernah jelek, rapor tidak pernah dihiasi angka merah dan saya selalu menjadi anak baik-baik dan menjadi kebanggaan orangtua. Saya tidak pernah gagal dan kegagalan itu sekarang di depan mata, menunggu untuk jadi kenyataan. Saya takut. Saya tidak mau mengecewakan orangtua. Saya malu jika tidak lulus dalam satu mata kuliah. Malu terhadap orang tua, teman, dan diri sendiri. Teman-teman pasti mencibir jika saya tidak bisa lulus di mata kuliah Fisika.

Saya tidak berani cerita tapi saya butuh butuh dukungan. Saat tidak tahu harus berbuat apa tiba-tiba saya kangen mama. Sudah berapa lama saya dan mama tidak mengobrol dan bertukar kabar. Saya terlalu terhanyut dengan euforia perkuliahan dan melupakan orang rumah. Setelah memberanikan diri akhirnya saya menelpon ke rumah. Di ujung telpon terdengar suara mama menanyakan kabar dan tangis saya langsung meledak. Selama 5 menit awal saya tidak mampu berkata apa-apa, saya hanya menangis di telpon sementara mama semakin kebingungan, 'Kamu kenapa?' tanya beliau. Dengan suara yang bercampur dengan isakan, saya menceritakan keadaan saya.

Setelah pikiran sedikit tenang dan otak mulai jernih, saya mulai menyusun rencana untuk mengejar nilai Fisika. Walau kemungkinan untuk tidak lulus terlihat begitu besar tapi saya memutuskan untuk tidak menyerah begitu saja. Semua usaha akan dilakukan demi bisa lulus dari mata kuliah ini. Saya mulai mendatangi teman senasib untuk belajar bersama bahkan menginap di kamarnya, begadang semalaman untuk menghapal semua rumus sampai lingkaran di bawah mata mulai terlihat menghitam. Paling tidak saya bisa memberi sedikit perlawanan saat menghadapi soal di UAS nanti.

Sehari setelah telepon terakhir kerumah seseorang mengetuk pintu kamar dan mengabarkan orangtua saya menunggu di kantin asrama. Saya kaget, tidak biasanya mereka mengunjungi saya tanpa mengabari terlebih dahulu. Waktu itu jam setengah sembilan malam, papa masih memakai seragam kerja dan mama terlihat hanya berdandan seadanya. Ternyata papa mengajak mama menjenguk saya sepulangnya papa bekerja. Beliau menyetir mobil sendiri, menempuh jarak yang cukup jauh, menembus kemacetan, dan membawakan makanan untuk saya dan teman sekamar. Saya tidak menyangka, mereka begitu mengkhawatirkan keadaan saya.

Papa menanyakan kabar saya sedangkan mama lebih banyak diam. Dengan polos papa bertanya, 'Memang kalau kamu ngga lulus Fisika terus kamu dikeluarin dari kampus?'. Tidak papa sayang, saya tidak akan dikeluarkan dari kampus hanya karena nilai Fisika saya D. Tapi saya tidak mau nilai itu menghiasi transkrip atau harus mengulang mata kuliah ini untuk memperbaiki nilai. Papa terlihat lega, dia bilang tidak apa-apa kalau saya mendapat nilai D, papa dan mama tidak akan marah. Lagipula saya masih bisa memperbaikinya di semester lain jika mau. Papa yang tidak sempat merasakan bangku kuliah berusaha keras mengerti keadaan saya dan memberi nasehat untuk menyemangati saya.

Kunjungan itu tidak lama karena tepat pukul sembilan malam jam malam asrama habis. Sebelum pulang mama memberikan selembar surat untuk saya. Inilah kebiasaan saya dan mama, kami lebih leluasa mengeluarkan perasaan masing-masing melalui tulisan dibanding perkataan. Di kamar, diantara riuh teman-teman yang ribut menjarah makanan hantaran, saya membaca surat mama. Tidak banyak yang mama tulis disitu, beliau hanya menyampaikan bahwa dia bangga dengan semua yang telah saya raih sampai hari ini. Mama tidak menuntut banyak dari saya karena dia tahu saya selalu bersungguh-sungguh dalam melakukan segala sesuatu dan itu yang terpenting. Mama tidak mengerti arti dari angka ataupun huruf di transkrip, tapi mama melihat semua hal yang saya lakukan untuk meraihnya. Walau gagal, mama bangga karena saya tak letih untuk berusaha. Mungkin peribahasanya 'yang penting itu terletak pada prosesnya, bukan pada hasil akhirnya'.

Kejadian ini menjadi titik balik saya di masa kuliah. Saya berjanji tidak akan bermain-main lagi menghadapi masa kuliah. Masa depan ada di tangan saya dan hanya saya yang mampu mengubahnya. Walau transkrip nilai semester 1 dan 2 dipenuhi rantai karbon, saya bertekad untuk membalas semua kekalahan ini. Lulus kuliah dengan predikat Cum Laude pastinya sangat tidak mungkin, tapi saya mengejar kelulusan dengan predikat Sangat Memuaskan dengan IPK diatas 3. Hadiah untuk mama dan papa.

Dan saya berhasil...

Mama dan papa mungkin tidak sempat merasakan bangku kuliah tapi mereka adalah motivator saya nomor satu. Semua yang saya lakukan pada akhirnya ditujukan untuk membuat mereka bangga.

Tulisan ini dibuat untuk adik saya yang tengah berjuang menyelesaikan kuliahnya di Semarang. Kami selalu bangga dengan semua yang telah kamu lakukan. Dan untuk Nenes, cita-cita kita tercapai. Terimakasih karena selalu mengingatkan saya akan sebuah janji yang kita ucapkan di salah satu kamar asrama itu.

Dan kabar nilai Fisika saya? Yah, saya hanya kekurangan 1 poin untuk dapat lulus. Untungnya saya dapat mengikuti ujian ulangan dan lulus. Itu adalah terakhir kalinya saya bertemu dengan Fisika :)

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+

Related : Sepenggal Kenangan Masa Kuliah