Penikmat film Jakarta akhirnya dapat dipuaskan dengan festival film pertama di awal tahun ini. Australia on Screen resmi digelar dari tanggal 26 - 28 Januari 2011 di Blitzmegaplex Grand Indonesia. Tujuh film Australia yang sukses 'wara-wiri' di berbagai penghargaan film bergengsi hadir dalam acara ini. Tidak hanya membawa film terbarunya Bran Nue Dae yang mendapat perhatian internasional sepanjang tahun 2010 kemarin, beberapa film yang rilis di akhir tahun '90-an dan awal tahun 2000 juga ikut diputar disini.
Australia on Screen digelar untuk menyambut Hari Nasional yang jatuh pada tanggal 26 Januari 2011. Festival ini dibuka oleh artis sekaligus produser kenamaan Indonesia, Christine Hakim, dan Duta Besar Australia untuk Indonesia, Greg Moriarty. Pemilihan Christine Hakim juga merupakan bentuk apresiasi terhadap prestasi beliau yang berhasil menerima penghargaan Asia Pacific Screen Awards 2010 FIAPF Award for Outstanding Achievement in Film yang diselenggarakan di Australia akhir Desember lalu.
Australia on Screen 2011 disponsori oleh Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia bekerjasama dengan Australia International Cultural Council dan Screen Australia dengan dukungan Pemerintah Australia Barat. Dalam pemutaran film pembuka Australia on Screen, Bran Nue Dae, turut hadir Robyn Kershaw selaku produser dari film musikal tersebut dan Rocky McKenzie sebagai aktor penduduk asli Astralia. Rencananya mereka berdua akan ambil bagian dalam sejumlah lokakarya dengan pekerja film dan mahasiswa film Indonesia untuk merefleksikan budaya yang berbeda melalui media film.
Setelah Perancis secara khusus dan Eropa secara umum rutin menggelar festival film sebagai media pertukaran budaya nampaknya Australia juga mulai melirik cara ini untuk menggambarkan derajat ke-multikultural. Dilihat dari bangku studio yang dipenuhi penonton rasanya masyarakat cukup antusias untuk melihat film karya sineas Australia sekaligus memperdalam khasanah budaya mereka tentang negara Kangguru ini. Untuk debutnya kali ini Australia on Screen terbilang sukses merebut hati penikmat film Jakarta dan berhasil memperkenalkan budaya multikultural mereka. Tujuh film yang diputar, Bran Nue Dae (2009), Jindabyne (2006), Radiance (1998), Lantana (2001), Mary and Max (2009), Looking for Alibrandi (2000), dan Ned Kelly (2003) semuanya berhasil membawa misi Australia on Screen 2011.
Film andalan untuk Australia on Screen kali ini tentunya adalah Bran Nue Dae. Film musikal berlatar tahun 1960 ini bercerita tentang pelarian Willie (Rocky McKenzie) dari sekolah kepasturan. Dalam perjalanan pulang Willie bertemu dengan banyak orang yang membawanya ke berbagai petualangan. Pencarian jati diri Willie dalam perjalanan pulang kerumah ini disajikan dengan rentetan lagu dan koreografi yang membuat film terasa begitu segar dan menyenangkan untuk diikuti.
Nue Dae trailer
Australia on Screen juga menyuguhkan film animasi untuk memperlihatkan keragaman perkembangan film yang telah berjalan. Mary and Max adalah adalah pilihan yang tidak main-main karena film ini telah berhasil menjadi film pembuka Sundance Film Festival tahun 2009. Lewat clay animation, sutradara Adam Elliot menyuguhkan hubungan surat-menyurat dua orang yang sama sekali berbeda diantara dua negara. Mary Dinkle berusia 8 tahun dan tinggal di pinggiran kota Melbourne. Dia kekurang kasih sayang dari kedua orangtuanya, tidak memiliki teman di lingkungannya, dan tidak terlalu percaya diri. Sedangkan Max Horovitz berusia 44 tahun dan tinggal di kekacauan kota New York. Max menderita sindrom Asperger sehingga dia kesulitan berkomunikasi dengan lingkungannya. Kesepian, itulah kesamaan Mary dan Max yang membuat persahabat unik yang tersaji selama 92 menit ini mampu menjungkirbalikkan perasaan yang melihatnya.
Sebagai penutup Australia on Screen juga lagi-lagi tidak salah memilih film. Ned Kelly adalah film yang diangkat dari kisah nyata dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah Australia itu sendiri. Sederet bintang sekelas Heath Ledger, Orlando Bloom, Goffrey Rush dan Naomi Watts memenuhi layar selama 110 menit. Andai semua film western yang khas dengan dunia gangster, sheriff, kuda, dan tanah tandus dapat tampil seciamik ini pasti Hollywood dapat mengeruk keuntungan super besar darinya. Sejarah dan film western, dua hal yang seringnya menghasilkan film super membosankan ternyata tidak berlaku untuk Ned Kelly. Siapa yang menyangka mempelajari sejarah dapat menjadi demikian menyenangkan dan aksi tembak-tembakan di atas kuda ternyata cukup menegangkan?
Sepertinya tiga hari dengan tujuh film Australia masih terasa kurang bagi penikmat film yang jarang melihat film Australia. Tidak banyak koreksi untuk event ini, hanya mungkin pelengkap English subtitle dapat tetap dimasukkan dalam film karena pada prakteknya lebih mudah untuk 'reading' daripada 'listening'. Semoga kedepannya Australia on Screen dapat menjadi event tahunan sehingga pertukaran budaya itu pun dapat terus terjadi.