.....
Saya terkesima melihat karya seni masyarakat Toraja yang dituangkan dalam bangunan pemakaman. Terlihat jelas bahwa bagi masyarakat Toraja kematian harus dirayakan dengan megah sebagai bentuk penghormatan terhadap anggota keluarga yang telah berpulang. Kamera saya mulai berbunyi riang mengabadikan kemegahan kubur batu ini, mencoba mengabadikan nilai-nilai tradisi yang dilekatkan dalam setiap lekuk bangunan. Sementara itu Teddy berdiri tak sabar ingin segera melanjutkan perjalanan dan menjelajah bagian lain di kompleks pemakaman tradisional Toraja ini. “Don’t you dare leave me here alone,” saya berkata mengancam tanpa mengalihkan perhatian dari lensa kamera.
Bangunan kubur batu itu seperti menghipnotis saya. Setiap sudutnya menarik untuk dieskplorasi dalam slide demi slide foto. Perhatian saya terpecah saat mendengar suara Teddy, “Cha, kita butuh guide.” Saya terpaku di tempat ketika menyadari lelaki itu telah berjarak sekitar 20 meter dari tempat saya berdiri, lebih terhenyak lagi ketika melihat pemandangan yang dia tunjukkan di belakang punggungnya: jajaran peti kayu yang telah lapuk dimakan usia dengan tengkorak dan tulang belulang manusia yang berserakan di sekitarnya.
Dengan langkah panjang dia menghampiri saya yang masih berdiri kaku tak mampu bergerak kemudian menarik tangan saya pergi dari tempat itu. Kami seakan sepakat untuk berjalan terburu melangkahkan kaki agar cepat kembali ke peradaban. Satu cubitan gemas mendarat mulus di pinggang Teddy, “never ever leave me like that again” suara saya mendesis tajam.
....
(4 Hari Untuk Selamanya, wait for further stories)
....
(4 Hari Untuk Selamanya, wait for further stories)