Ampun deh, besok udah lebaran tapi baru bikin postingan ini sekarang. Apa daya, tenaga dan waktu saya benar-benar terkuras di bulan maha suci ini. Jangankan untuk menunaikan tarawih, di waktu sahur saja saya masih sering tertidur di meja makan. Baru kali ini saya merasa kesulitan mengatur waktu kerja dan waktu pribadi. Jangankan untuk menulis satu postingan baru atau blogwalking, membuka layar laptop saja rasanya tidak sanggup. Saya mohon maaf, beberapa waktu ini belum sempat berkunjung balik ke tempat teman blogger lain.
Kembali ke judul dari tulisan ini, hampir semua kantor rasanya memajukan jam pulang agar para karyawan dapat berbuka puasa dengan keluarga. Kantor saya mempercepat jam pulang setengah jam lebih awal, jadi pukul 16.30 karyawan sudah bisa pulang. Sayangnya, bagi komuter seperti saya pencepatan jam pulang ini tidak memiliki dampak yang cukup berarti. Tetap saja saya tidak bisa berbuka puasa di rumah karena terhambat masalah klasik khas Ibukota Jakarta. Pilihannya ada dua, berbuka puasa di kantor atau di jalan.
Buka Puasa di Kantor
Hal ini bisa terjadi karena beberapa hal: pekerjaan belum selesai, jalan terlalu macet atau hujan deras. Di kantor lama, biasanya menjelang magrib saya bersama beberapa teman keluar kantor untuk mencari tajil. Mendekati waktu berbuka, kami semua berkumpul di banking hall. Semua personil komplit, mulai dari teller, costumer service, back office, sampai para suvervisor kemudian berbuka puasa bersama, makan bersama, dan salat berjamaah. Rekan kerja non muslim juga ikut larut dalam suasana berbuka puasa, mereka ikut menyantap tajil dan mengobrol bersama kami. Walau tidak bisa berbuka puasa di rumah, tapi rasanya hati ini jadi tentram karena memiliki keluarga kedua di kantor dengan ikatan yang demikian solid.
Pemandangan jam dinding dari meja saya. 20 menit lagi menuju waktu berbuka.
Sebetulnya saya lumayan dimanjakan jika berbuka puasa di kantor yang sekarang. Office boy sudah menyediakan teh manis hangat dan tajil seadanya untuk membatalkan puasa. Hanya saja, suasana buka puasa terasa hambar dan pedih untuk saya. Kebanyakan teman sudah pulang ke rumah masing-masing, yang tersisa hanya segelintir orang, itupun mayoritas non muslim dan mereka tetap sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Saya berbuka puasa sendiri, di meja kerja, dengan meja yang masih penuh dengan tumpukan transaksi. Kalau sudah begini rasa kangen rumah bisa timbul berlipat ganda, pasti menyenangkan jika bisa berbuka dengan keluarga, berdoa bersama kemudian menyantap tajil buatan mama diselingi obrolan hangat.
Kurang lebih, seperti inilah suasana berbuka puasa di kantor.
Fakta: Setiap orang di kantor membutuhkan minimal dua gelas teh untuk berbuka puasa.
Buka Puasa di Jalan
Ini adalah pilihan yang tidak bisa dihindari dan baru saya alami di ramadhan tahun ini . Biasanya saya lebih memilih berbuka puasa di kantor daripada di jalan, tapi suasana kantor yang dingin membuat saya ingin cepat-cepat sampai di rumah.
Untuk berbuka puasa di jalan, diperlukan amunisi lengkap untuk berbuka puasa. Biasanya saya bekal teh manis hangat dalam tempat minum. Untuk tajil, beda lagi ceritanya. Karena berbuka puasa di atas bus, maka keinginan untuk menyantap kolak atau es buah harus dikubur dalam-dalam. Kecuali siap dengan resiko baju ketumpahan kuah kolak atau es buah. Jadilah selama bulan puasa ini saya setia dengan menu lontong dan gorengan untuk mengganjal perut sampai di rumah. Aih, padahal saya selalu menghindari gorengan di bulan biasa. Darimana saya bisa mendengar adzan dan mengetahui waktu berbuka? Tidak mungkin dari pengamen pastinya, maka radio menjadi sahabat terbaik saya. Pilihan jatuh ke Prambors yang menyiarkan sandiwara radio 30 menit menjelang waktu berbuka.
Saat adzan berkumandang, saya mencolek teman sebelah untuk memberitahu waktu berbuka telah tiba. Info ini biasanya akan menyebar ke seantero bus. Lalu terjadilah solidaritas antar komuter, setiap orang menawarkan bekal berbuka puasanya. Ada yang niat membawa kurma dalam tempat makan, membawa aqua gelas dalam jumlah banyak kalau-kalau ada penumpang yang lupa membeli minum, dan yang paling umum adalah membawa beberapa potong roti untuk dibagikan. Semua orang berlomba-lomba untuk berbagi dan memastikan yang berpuasa memiliki cukup makanan dan minuman untuk disantap.
Lagi-lagi, pengamen menjadi musuh utama saya. Dengan genjrang-genjreng gitar mereka yang berisik, rasanya suara adzan kehilangan maknanya. Belum lagi pengamen datang silih berganti, menyanyikan lagu berbeda dengan tingkat keributan yang sama. Sangat memerlukan kesabaran ekstra. Paling ngenes melihat teman komuter yang tidak kebagian duduk. Mereka harus berdiri sambil berbuka puasa, kemudian melanjutkan perjuangan hari itu dengan berdiri selama 2 jam sampai ke tempat tujuan. Disini, tingkat kesabaran benar-benar diuji. Karena sudah membatalkan puasa, rasanya kemarahan begitu mudah dipancing. Penyebabnya antara lain pengamen yang kekeuh mengamen di kepadatan bus atau kondektur yang memaksa terus mengisi bus dengan manusia.
Di atas bus yang melaju kencang, suara adzan yang berkumandang syahdu di telinga, teman-teman komuter senasib sependeritaan dan makanan seadanya, hati ini terasa tergetar karena saya memiliki pengalaman berbuka puasa yang lain. Langit Jakarta mulai berubah, dari terang menjadi jingga untuk kemudian gelap pekat. Jalanan juga mulai dipadati kendaraan dan bus mulai melambat untuk kemudian berhenti sama sekali dalam kemacetan. Rumah rasanya masih sangat jauh, tapi saya merasa bersyukur dengan segala rejeki dariNya dan merasa beruntung dapat merasakan pengalaman ini.
Semoga teman-teman blogger juga mendapat pengalaman berharga selama bulan ramadhan tahun ini.
Selamat hari raya Idul Fitri.
Mohon maaf lahir dan batin.
Regards,
Merry go Round